Hani (24 th) akhir-akhir ini sering  resah sendiri, apa yang  dilakukannya sering menjadi serba salah, bahkan  untuk hal-hal yang  rutin dikerjakannya pun tak luput dari kesalahan.  Hani juga jadi lebih  sensitif, ada hal kecil saja yang tak berkenan di  hatinya sudah dapat  membuat ia sedih dan menangis. Tentu saja keadaan  ini tidak membuat ia  merasa nyaman terhadap dirinya sendiri. Usut punya  usut, ternyata Hani  sebentar lagi akan menikah, tepatnya sepekan lagi.
Hani akan  memasuki dunia baru, ia akan mengarungi bahtera rumah  tangga. Persiapan  sudah dilakukan, tempat sudah di booking jauh-jauh  hari, undangan  telah disebar, segala sesuatu yang berkaitan dengan  teknis pernikahan  sudah disiapkan dengan matang. Pendeknya, segala  sesuatunya sudah  beres, sisanya tinggal persiapan diri yang bersangkutan  saja untuk  menghadapi pernikahannya.
Sebetulnya Hani merasa telah  mempersiapkan dirinya menghadapi  pernikahan ini, tapi tak urung ia  masih juga khawatir, apakah ia siap  berbagi hidup bersama orang yang  baru dikenalnya? Apakah ia sanggup  menjalankan amanah sebagai seorang  istri lalu menjadi seorang ibu?
Hani teringat bahwa suatu  hari ia pernah membaca sebuah buku yang di  dalamnya diceritakan kisah  tentang seorang wanita yang bertanya kepada  Rasulullah SAW :
"Ya  Rasulullah SAW, aku adalah seorang gadis yang ingin menikah, maka   beritahukanlah kepadaku, apakah hak-hak suami terhadap istrinya agar   aku dapat melaksanakannya? InsyaAllah".
Rasulullah SAW  yang mulia menjawab : "Diantara hak suami atas  istrinya adalah : Jika  saja kaki suamimu terluka kemudian luka itu  bernanah dan mengeluarkan  bau busuk, kemudian engkau membasuhnya dengan  wajahmu, maka engkau  belum dianggap memenuhi semua hak suamimu. Dan  kalau saja Allah  membolehkanku untuk memerintahkan manusia sujud kepada  manusia lain,  sungguh aku perintahkan para istri untuk sujud kepada  suaminya".
Hani ingat, ketika itu ia  sampai bergidik membacanya.
Ia  juga teringat akan pembahasan tentang istri sholihah dalam kajian  yang  sering diikutinya, sehingga membuatnya terus menerus berfikir,  apakah  ia mampu menjadi istri sholihah? Hani memang punya tekad kuat  untuk  menjadi istri sholihat. Ia ingin pernikahannya menjadi ladang amal   sholih baginya, dan untuk itu ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Sebenarnya  Hani tak perlu sampai khawatir begitu, sebab rasanya kita  semua, baik  yang belum menikah atau bahkan yang sudah menikah  bertahun-tahun masih  harus terus belajar dan berproses menjadi istri  yang sholihah, dan  proses itu tidak akan pernah berhenti selama kita  masih menjadi seorang  istri. Memang sangat jauh lebih baik proses untuk  menjadi istri yang  sholeha dimulai jauh-jauh hari sebelum Allah SWT  memberikan jodoh  kepada kita.
Lalu ketika hari  pernikahan sudah diambang pintu, apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama
Lebih intensif mendekatkan diri kepada Allah SWT,  dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. 
Menikah  adalah keputusan penting dalam kehidupan manusia. Siapapun  tentunya  tidak ingin salah dalam mengambil keputusan, apalagi keputusan  itu  menyangkut hal penting dalam hidupnya yaitu: "Pernikahan". Nah   detik-detik menjelang "hari H" itu intensiflah bermunajat kepada Allah   SWT, memohon kepada-Nya agar keputusan yang telah kita ambil itu   benar-benar mendapat taufiq (persetujuan) serta ridho-Nya dan pernikahan   ini menjadi keputusan terbaik dalam hidup kita. Juga memohon bimbingan   kekuatan, kemudahan dalam menjalani hidup berumah tangga, sehingga   menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah hingga akhir   zaman.
Kedua
Berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjaga keikhlasan  dalam kondisi apapun. 
Ikhlas  dalam konteks akan membangun rumah tangga adalah berusaha  ikhlas  menerima calon pasangan kita apa adanya, dengan segala kelebihan  dan  kekurangannya. Ingat, kita akan menikahi manusia, bukan malaikat.   Betapapun tinggi tingkat ketaatan seseorang dalam beragama, bukan   berarti dapat mengubahnya menjadi malaikat yang tak pernah berbuat   salah. Siap menikah berarti siap untuk terus menjaga keikhlasan dalam   menjalani semua kewajiban, konsekwensi, dinamika dan gelombang dalam   berumah tangga. Sehingga dalam menghadapi kondisi seberat apapun   nantinya, sikap kita adalah melakukan perenungan kembali tentang niat   awal kita menikah. Apa sih niat saya menikahi dia? Kenapa sih saya mau   menikahi dia? Dengan demikian kita senantiasa diingatkan bahwa ada yang   harus selalu dijaga dalam pernikahan ini. Ia adalah keikhlasan itu   sendiri. Dalam kerangka ini, insyaAllah pernikahan akan menjadi ibadah   di sisi-Nya.
Ketiga
Menjaga kebersihan hati dan  menghiasinya dengan adab-adab syar’i. 
Ingat,  sebelum prosesi aqad nikah dilangsungkan, status kita terhadap  calon  pasangan adalah non-mahram, yang berarti adab berinteraksi dengan  calon  pasangan adalah sebagai mana adab berinteraksi antara laki-laki  dan  perempuan yang bukan mahram.
Hal itu sangat penting  disadari untuk menjaga kebersihan hati agar  tidak tergoda untuk  melakukan hal-hal yang dilarang oleh syar’i.  Berkomunikasi dan  berinteraksi tentu saja boleh, tidak mungkin orang  yang akan menikah  tidak berkomunikasi dan berinteraksi dengan calon  pasangannya. Tapi  berusahalah sedapat mungkin berkomunikasi dan  berinteraksi sesuai  dengan adab yang diperbolehkan syariat. Misalnya,  musyawarah tentang  persiapan menikah dilakukan di rumah, bersama oang  tua kita, atau dapat  dilakukan di rumah orang yang kita percaya, tentu  saja dengan  didampingi oleh tuan rumahnya.
Hindari berkhalwat berdua  dengan calon pasangan, ingat "tidaklah  seorang laki-laki dan perempuan  berkhalwat melainkan ketiganya adalah  syaitan". (Al-Hadits). Hindari  juga sms, telephon, email mesra dan  lain-lain yang sejenis, yang  kesemuanya dapat membuat hati kita menjadi  kotor, berangan-angan dan  jatuh dalam dosa. 
Jika kita menginginkan pernikahan yang akan kita jalani mendapatkan taufiq, inayah, berkah dan ridho Allah SWT, kita harus mengusahakan agar segala persiapan sedapat mungkin "bersih" sejak awal prosesnya.
Jika kita menginginkan pernikahan yang akan kita jalani mendapatkan taufiq, inayah, berkah dan ridho Allah SWT, kita harus mengusahakan agar segala persiapan sedapat mungkin "bersih" sejak awal prosesnya.
Mudah-mudahan tiga hal ini dapat membantu kita lebih pandai menata dan menjaga hati, sehingga detik-detik menjelang pernikahan tidak perlu lagi menjadi detik-detik yang membuat resah dan gelisah, tetapi sebaliknya menjadi detik-detik yang penuh keindahan dan kemanisan munajat kepada Allah SWT, yang membuka dan menjadikan semua jalan menjadi mudah dan terang. Amin.
Kemudian dapatlah  setelah itu kita dengan keyakinan kepada Allah SWT,  berkata kepada  calon suami kita : "wahai calon suamiku, marilah kita  naiki bahtera  ini, mari kita kembangkan layarnya bersama-sama, kita  hadapi  gelombangnya tanpa rasa gentar. Semoga Allah SWT bersama kita."
Disalin dari : http://ummiwita.wordpress.com/ ![]() 
 
 
