Senin, 05 Agustus 2019

Inilah yang Bisa Dilakukan Istri saat Kangen Suami

Sahabat ku, bagi pasangan suami istri yang sedang menjalani Long Distance Marriage (LDM), rasa kangen itu sangat wajar. Sesibuk-sibuknya kita pasti tetap dan akan selalu memikirkannya. Justru kalau enggak gitu rada aneh.

Meskipun teknologi bisa membuat yang jauh jadi dekat termasuk pasutri yang sedang LDM, namun tetap saja tidak bisa menggantikan interaksi di dunia nyata.

Bagi sang istri sendiri, suami adalah sosok yang istimewa. Dia adalah imam, teman, kakak, rekan seperjuangan, & semuanya. Semandiri-mandirinya istri, ada kalanya hatinya lemah dan merasa ada yang kurang ketika sang suami tidak ada di sisi. Terlebih jika suaminya baik & sangat mencintainya, maka tidak alasan bagi istri untuk tidak peduli dengan suami.

Nah, bagaimana agar rasa melow yang datang tersebut tidak semakin berkepanjangan yang malah bisa membuat diri enggak bersemangat? Bagaimana cara mengubah rasa kangen dengan suami yang sedang jauh menjadi sesuatu yang bermanfaat? Ini dia....

1. Doakan suami saat kangen

Mendoakan suami tentu setiap saat, tidak hanya saat kangen saja sebenarnya. Hanya saja, saat perasaan kangen memuncak, energi kita akan full. Dan ibarat orang berkendaraan bensinnya sedang penuh, maka bisa cepat sampai tujuan. Doakan suami agar dilancarkan pek­erjaannya dan diselam­atkan dari segala ma­rabahaya.

2. Sadari bahwa kita bukan satu-satunya yang menjalani LDM

Saat kangen berujung melow melanda, cepa­t-cepat sadari bahwa kita bukan satu-sat­unya istri yang seda­ng jauh dengan suami. Di luar sana masih ada buanyaakk istri yang menunggu suamin­ya di medan perang, nunggu suaminya berla­yar, atau aktivitas yang lebih berat lai­nnya. Dengan berpikir seperti itu, kita akan jadi lebih tega­r.

3. Memandang koleksi foto berdua sambil mengingat masa-masa berat yang sudah dil­alui. Dengan begitu, rasa cinta pada sua­mi akan semakin bert­ambah dan rasa syukur ke Allah akan sema­kin meningkat. Maka, LDM ini pun pasti juga bisa dilalui. Ti­dak ada sesuatu yang permanen di dunia ini.

4. Jaga diri dari fi­tnah

Salah satu tanda ist­ri yang amanah dan mencintai suaminya ad­alah menjaga diri. Dia tidak akan membia­rkan fitnah menghamp­iri dirinya lebih-le­bih saat suami tidak ada.

5. Menyibukkan diri

Meskipun sesibuk-sib­uknya istri tetap in­gat suaminya, tapi setidaknya dengan mel­akukan hal-hal posit­if, perasaan melow tidak akan sering dat­ang.

6. Melakukan kegiatan sosial, apapun itu, entah di dunia maya maupun nyata

Memberikan kursus gr­atis untuk kaum dhua­fa adalah salah satu contohnya. Tebarkan beragam benih kebai­kan apapun bentuk dan caranya.

7. Mengirim foto diri sendiri ke suami atau kirim cerita

Selain komunikasi wa­jib setiap hari, tid­ak ada salahnya jika istri memberikan ke­jutan manis pada sua­minya nun jauh di sa­na, misal dengan men­girimi foto selfie dirinya disertai capt­ion-caption lucu. Toh ke suami sendiri, bukan ke suami teman. ☺

8. Akui, jangan sok kuat

Ada kalanya seorang istri gengsi mengakui bahwa dia kangen suami. Lebih parah la­gi si istri seolah merasa enggak butuh suami. 
"Aku wanita kuat dong gak butuh suami bisa hidup sendiri,"
"Aku sih dah biasa ditinggal gini,"
"Aku bukan istri cemen. Suami pergi ya pergi aja,"
Padahal dalam hati menjerit.
Ingatlah bahwa kat­a-kata adalah doa. Serius ingin Allah me­ngabulkan kalimat sok kuat itu. Serius udah siap?
Kenapa tidak akui saja kalau kangen dan butuh suami. Toh, bukan berarti lemah. Sekadar mengakui (b­ukan mengeluh berkep­anjangan) untuk kemu­dian menerima keadaan dan mencari solusi­nya. Nah kan enggak menyiksa diri.

Yuk, jadikan rasa ka­ngen ke suami yang sedang berada di temp­at yang jauh sebagai bahan bakar untuk menjadi istri yang le­bih baik lagi. Have a great day, wonder women!!

Ditulis oleh :

Miyosi Ariefiansyah atau @miyosimiyo ada­lah istri, ibu, penu­lis, & pembelajar. Rumah mayanya di ruma­hmiyosi(dot)com

pict : tandapagar.com
»»  Read More...

Minggu, 20 November 2016

Ternyata Mengajak Jalan-Jalan Istri, Pahalanya Lebih Besar Dari Sebulan I'tikaf di Masjid Nabawi?

MasyaAllah, Begitu indah Islam mengajarkan segala kebaikan, untuk umatnya. Bahkan dalam urusan rumah tangga begitu detailnya diterangkan bagaimana pahala bila suami mengajak jalan-jalan istri dengan perasaan Ikhlas dan bahagia.


Mungkin ada yang baru tahu, ternyata pahala menemani istri jalan-jalan bisa lebih baik dari pahala iktikaf di Masjid Nabawi selama sebulan penuh.

Apa yang anda dapatkan jika dengan ikhlas menemani seorang sahabat atau orang terdekat anda membeli barang barang kebutuhan sehari hari? Pasti banyak yang berfikir bahwa apa yang telah kita lakukan hanya berbalas pahala dan ucapan terima kasih saja.

Tapi jangan salah, keikhlasan kita tersebut ternyata diganjar pahala besar bahkan lebih besar dari yang kita pikirkan.

Rasullulah SAW bersabda;

"Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara (muslim) di dalam sebuah keperluan lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di dalam masjid ku (masjid Nabawi) ini selama sebulan." (HR. Ath-Thabarani)

Syaikh Muhammad bin shalih Al-Ustaimin rahimahullah berkata;

"Menunaikan kebutuhan kaum muslimin lebih penting dari pada iktikaf, karena manfaatnya lebih menyebar, menfaat ini lebih baik daripada manfaat yang terbatas (untuk diri sendiri). Kecuali manfaat terbatas tersebut merupakan perkara yang penting dan wajib dalam Islam (misalnya shalat wajib)."

Bayangkan, ganjaran melebihi pahala beriktikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh. Betapa mulianya kita jika ikhlas walau hanya sekedar menemani orang lain berjalan-jalan.

Maka apalagi ikhlas itu dilakukan kepada istri anda sebagai orang yang paling berhak anda bahagiakan di dunia ini.

Rasullulah SAW bersabda;

"Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya." (HR At-Thirmidzi)

Maka dahulukanlah istrimu dari pada teman-temanmu. Perhatikan keinginan dan temani istri dan anak-anakmu karena sebagaimana mereka adalah paling berhak mendapatkan kebaikan dari dirimu (suami).

Sekedar pergi menemani istri dan anak-anak berbelanja, jalan-jalan dengan rasa bahagia dan ikhlas dilakukan, ganjarannya pahala yang menanti bisa melebihi dari iktikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh. Wallahu a’lam..

Semoga bermanfaat dan bisa menjadi perhatian kita semua. Silahkan dibagikan agar makin banyak orang yang tahu. Indahnya saling berbagi ilmu yang bermanfaat, karena kebaikannya akan terus berlipat dan pahalanya akan terus mengalir sampai kita meninggal kelak.

[http://tribunsalam.blogspot.co.id/]
(Foto: doc. Pribadi)
»»  Read More...

Minggu, 16 Maret 2014

Istri Idaman, Istri Pengertian

Untuk para istri di seluruh dunia bagian mana pun, betapa bahagianya saat kita sudah menemukan seorang imam dalam bahtera rumah tangga. Betapa tenang saat kita sudah menyempurnakan setengah dien dengan pernikahan. Saat itu pula, dalam perjalanan hidup kita dan suami akan bersama-sama saling membantu agar menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah hingga ke jannah.

Menjadi seorang istri itu susah-susah gampang. Siapa dari kita yang selama hidup berumah tangga tidak ada badai yang menerpa? Pasti semua pernah mengalaminya. Namun cara apa yang kita gunakan sebagai istri agar badai itu segera mereda?

Setiap orang di dunia ini butuh untuk dimengerti. Itu kebutuhan dasar manusia. Maka dari itu, makna ‘pengertian’ harus diartikan secara mendalam.

Lalu bagaimana cara istri pengertian terhadap suami?

Salah satu cara dari sekian banyak alternatif yang ada adalah peka terhadap kondisi yang ada. Memang tiap-tiap orang mempunyai kebutuhan untuk dimengerti. Namun ada baiknya jika kita singkirkan sejenak egoisme yang mendominasi kita untuk dimengerti orang lain, terutama meminta dimengerti oleh suami yang sudah susah-susah bekerja keras mencari nafkah menghidupi istri dan anak-anak.

Sebelumnya alangkah bijaksananya apabila kita belajar dan terus belajar untuk mengerti kebutuhan suami baik kebutuhan fisiologis yang mencakup menyediakan tatanan rumah yang nyaman, memasak makanan yang mengenyangkan, menyediakan minuman saat suami lembur kerja di rumah, mempercantik diri yang ditujukan untuk suami, dan seputar kebutuhan biologis sebagai pelayan suami. Kebutuhan lain adalah kebutuhan psikologis suami sehingga istri diharapkan dapat menjadi teman bicara yang menyenangkan, memberi suntikan motivasi dan arahan saat suami membutuhkan dukungan, serta perhatian baik dalam keadaan susah maupun senang.

Bagaimana jika kita sebagai istri sewaktu-waktu meminta timbal balik pengertian dari suami? Di sini kepekaan kita juga akan terasah. Kita sebaiknya tahu kapan suami punya waktu luang, di sana kita dapat memasuki ‘area’ suami dan menunjukkan bahwa kita membutuhkan pengertian, entah itu dengan manjaan, ataupun yang lainnya.

Selamat berproses menjadi istri idaman yang pengertian…
Source : Majalah Embun 
»»  Read More...

Jumat, 28 Februari 2014

Menjadi Istri Idaman Dunia Akherat

Diantara kepedulian Islam atas kehidupan rumah tangga Islami adalah penjelasan hak seorang istri dan hak seorang suami. agar terjadi keharmonisan hubungan berumah tangga. mengetahui posisi masing-masing agar tidak terjadi kesenjangan jabatan dalam rumah tangga. saling melengkapi dengan menunaikan tugas masing-masing.

Berikut adalah tips bagaimana menjadi seorang istri yang diidamkan didunia dan akherat dan menjadi istri terbaik baik suaminya :
1. Pertama dan yang paling penting adalah menerima kepemimpinan suami.

Perlu direnungkan sabda Rosulullah-sholallahu 'alaihi wasallam- berikut :
Artinya :
"Jika aku (berhak) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR at-Tirmidzi. Beliau mengatakan : Hadist Hasan)

Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- juga bersabda :
Artinya :
"Perempuan mana saja yang meninggal, sedangkan suaminya dalam keadaan ridho terhadapnya, maka dia masuk surga." (HR Ibnu Majah dan at-Tirmidzi. Beliau mengatakan : Hadist Hasan Ghorib)

Ketaatan kepada suami adalah wajib atas istri selama suami tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah. dan selain itu seperti suami memerintahkan suatu hal yang baik, maka wajib atas istri untuk melakukannya.

2. Hindari berkata yang kurang baik atau yang tidak enak didengar oleh suami.

Berkata yang santun dan bersikap lemah lembut terhadap suami tanpa mengucapkan kata-kata yang kasar baik ketika suami melakukan kesalahan atau karena hal yang lain. Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :
Artinya :
"Dan aku melihat neraka, aku belum pernah melihat pemandangan seperti pemandangan hari ini sebelumnya. dan aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita. para sahabat bertanya : kenapa wahai Rosulullah? beliau menjawab : karena kekufuran mereka. para sahabat berkata : karena kufur terhadap Allah? beliau bersabda : karena kekufuran mereka terhadap suami, dan kekufuran mereka terhadap kebaikan (suami). jika engkau berbuat baik kepada mereka sepanjang satu tahun, kemudian mereka melihat ada sedikit keburukan dalam dirimu, maka mereka akan berkata : saya tidak pernah melihat kamu berbuat baik sedikitpun." (HR Bukhori dan Muslim)

3. Perbanyak Sedekah Dan Istighfar.
Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :
Artinya :
"Wahai para wanita, bersedekahlah! dan perbanyak istighfar karena aku melihat penduduk neraka yang kebanyakan adalah kalian. salah seorang perempuan berkata : kenapa kami wahai Rosulullah? beliau bersabda : karena kalian banyak melaknat, mengkufuri suami, dan aku tidak melihat dalam diri kalian kecuali 2 (dua) kekurangan yaitu kekurangan akal dan agama yang sangat dominan dalam diri kalian. wanita itu berkata : wahai Rosulullah, apa yang dimaksud 2 (dua) kekurangan akal dan agama? beliau bersabda : kekurangan akal yaitu karena persaksian 2 (dua) orang dari kalian sebanding dengan seorang laki-laki, maka ini yang disebut kekurangan dalam akal. dan berhari-hari kamu tidak sholat (karena haid) dan juga tidak puasa ramadhan (karena haid, hamil atau menyusui), maka ini yang dimaksud kekurangan dalam agama." (HR Muslim)

Diambil dari : Pribadi Manfaat
»»  Read More...

Kamis, 27 Februari 2014

Keluarga Bahagia Bukan Berarti Tanpa Konflik

Perhatikanlah dengan seksama sebuah peristiwa walimah atau pesta pernikahan. Apa yang kita saksikan? Meriah, penuh kegembiraan, dirayakan dengan persiapan yang sungguh-sungguh. Ada banyak hiasan, banyak bunga, banyak keluarga, banyak tamu, banyak makanan, banyak minuman, semua serba berbeda dari biasanya. Bukan hanya pengantin yang berbusana indah menawan, namun keluarga dan para tamu undangan juga mengenakan pakaian istimewa yang jarang-jarang dikenakan.

Di beberapa kalangan masyarakat tertentu, pesta pernikahan sekaligus merupakan upaya untuk sarana komunikasi bisnis, sosial, politik dan budaya. Misalnya, orang tua yang pelaku bisnis, menjadikan pesta pernikahan anak sebagai sarana mengundang dan mengumpulkan rekan-rekan bisnis. Selain untuk silaturahim dan menyaksikan prosesi pernikahan, juga sekaligus untuk menguatkan jaringan bisnis dan bahkan menciptkan peluang-peluang dan “deal” baru. Demikian pula di kalangan keluarga politisi, pesta pernikahan telah menjadi sarana silaturahmi politik.


Kebahagiaan : Sebuah Harapan Besar

Sesungguhnya fenomena kesakralan pesta pernikahan itu simbolisasi dari perasaan bahagia dan penuh kesyukuran. Selain karena melaksanakan tuntunan agama, namun pada saat yang sama ada ritual budaya yang tengah dijalankan. Dalam tradisi dan adat yang berkembang di tengah masyarakat, hiasan-hiasan dalam pesta pernikahan semuanya memiliki makna-makna yang positif dan membawa pesan kebajikan. Dalam tradisi Jawa misalnya, mengapa menggunakan hiasan janur (daun kelapa yang mash muda), mengapa menggunakan pisang setandan, bunga setaman, dan lain sebagainya, semua membawa pesan-pesan kebajikan.

Artinya, prosesi pernikahan merupakan sebuah peristiwa yang istimewa dan sangat berkesan, bahkan menjadi sejarah penting dalam kehidupan selanjutnya. Dari peristiwa pesta pernikahan itu saja sudah terbaca dengan sangat kuat, bahwa kehidupan berumah tangga dikehendaki akan selalu berada dalam kebaikan dan penuh kebajikan. Terhindarkan dari malapetaka, marabahaya, kerusakan dan kehancuran.

Pada dasarnya semua orang menghendaki kehidupan keluarga yang harmonis, dipenuhi kebahagiaan, dan terjauhkan dari penderitaan. Saat melaksanakan prosesi pernikahan, pengantin laki-laki dan pengantin perempuan membayangkan serta mengharapkan kehidupan keluarga yang diliputi kedamaian, keharmonisan, ketenteraman, kebahagiaan dan terjauhkan dari berbagai penyimpangan serta pengkhianatan. Sebuah harapan serba ideal tentang pasangan, tentang kehidupan berumah tangga yang selalu dimiliki pasangan pengantin baru.

Namun sayang, harapan-harapan ideal tersebut tidak selalu menjadi kenyataan. Ada banyak badai yang mereka lalui di sepanjang perjalanan hidup berumah tangga, dan tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu bertahan di tengah badai.

Konflik Tidak Untuk Dihindari

Banyak pasangan suami isteri yang tidak menyadari dari awal bahwa mereka kelak akan menemukan konflik. Dalam teori psikologi diyakini, setiap hubungan antar pribadi selalu mengandung unsur-unsur konflik, perbedaan pendapat atau kepentingan. Hal ini karena setiap manusia itu unik, selalu ada sisi perbedaan dengan manusia lainnya. Konflik adalah situasi dimana pandangan dan tindakan satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu pandangan dan tindakan pihak lain.

Kendati unsur konflik selalu terdapat dalam setiap bentuk hubungan antarpribadi, namun banyak kalangan memandang konflik adalah faktor yang merusak hubungan, sehingga harus dicegah dan dihindari. Padahal, rusaknya hubungan antarpribadi sesungguhnya bukan disebabkan karena adanya konflik itu sendiri, melainkan disebabkan oleh kegagalan dalam mengelola serta memecahkan konflik secara bijak dan konstruktif.

Jika mampu mengelola konflik secara bijak dan konstruktif, sesungguhnya dapat memberikan manfaat positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, konflik sering juga diberi sebutan yang berkonotasi positif. Misalnya, konflik suami isteri dianggap sebagai “bumbu” dan penyedap atau pemanis dalam hubungan mereka di rumah tangga.

Ketika sepasang pengantin memulai kehidupan baru di rumah tangga baru yang mereka bangun, mulailah tampak kualitas hubungan mereka yang sesungguhnya. Ada sebagian pasangan yang berhasil mewujudkan impian dan harapan ideal mereka tanpa mengalami banyak kendala. Sebagian yang lain memerlukan usaha dan perjuangan yang keras untuk bisa meraihnya. Bahkan ada pula pasangan yang dalam sepanjang rentang waktu kehidupan mereka tidak sempat merasakan keharmonisan dan kebahagiaan. Sejak awal memulai hidup berumah tangga telah dipenuhi dengan berbagai pertengkaran sengit, konflik berkepanjangan dan berujung kepada perceraian.

Yang mereka perlukan sesungguhnya adalah kesiapan mental menghadapi konflik dan kesanggupan untuk menikmati serta menyelesaikannya secara bika dan konstruktif. Jangan menganggap konflik selalu bermakna menghalangi kebahagiaan, karena konflik justru diperlukan dalam rangka menghadirkan kebahagiaan itu sendiri. Betapa indahnya kebersamaan dan keharmonisan, baru sangat nyata dirasakan setelah keluar dari suatu konflik. Tanpa konflik, suami dan isteri akan mendapatkan kehidupan mereka biasa-biasa saja, datar datar saja, begitu begitu saja. Lalu dimana dinamikanya? Dimana letak indahnya?

Nikmati Konflik

Percayalah, untuk merasakan kebahagiaan hidup berumah tangga, kita tidak perlu takut menghadapi konflik. Tidak perlu menghindar dari konflik dengan pasangan. Justru harus menyiapkan diri untuk menghadapi, mengurai, dan menikmati setiap konflik yang datang bersama pasangan.

Bergandengan tangan meniti jalan kehidupan yang membentang di hadapan. Tetap bergandengan tangan saat badai menghantam. Konflik akan mudah diselesaikan oleh suami dan isteri apabila mereka memiliki komitmen untuk selalu membuka pikiran dan hati, mengutamakan keutuhan dan kebahagiaan keluarga daripada memenangkan pendapat dan egonya.

Keluarga bahagia, bukan berarti di dalamnya tidak ada konflik. Justru karena mereka bisa menghadapi dan menikmati konflik yang datang silih berganti, maka mereka merasakan kebahagiaan yang lebih hakiki.

Diambil dari :Islamedia
»»  Read More...

Sabtu, 15 Februari 2014

Bersamamu dalam Naungan Ilmu

 Membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis memang menjadi dambaan. Namun tentu saja untuk mencapainya bukan persoalan mudah. Butuh kesiapan dalam banyak hal terutama dari sisi ilmu agama. Sesuatu yang mesti dipunyai seorang istri, terlebih sang suami.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menikah berarti menjalani hidup baru. Karena dalam kehidupan pasca pernikahan memang dijumpai banyak hal yang sebelumnya tidak didapatkan saat melajang. Tentunya semua itu bisa dirasakan oleh mereka yang telah membangun mahligai rumah tangga. 

Pernikahan juga merupakan kehidupan orang dewasa. Sebab, banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan pikiran orang yang dewasa, bukan dengan pikiran kanak-kanak. Masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan, dan lain sebagainya, mau tidak mau akan hadir dalam kehidupan mereka yang telah berkeluarga.

Maka, tidak salah pula bila dikatakan untuk menikah itu butuh ilmu syar‘i, baik pihak istri, terlebih lagi pihak suami sebagai qawwam (pemimpin) bagi keluarganya. Karena dengan ilmu yang disertai amalan, akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan kehidupan. Namun sangat disayangkan, sisi yang satu ini sering luput dari persiapan dan sering terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi pasca pernikahan.

Pendidikan Keluarga

Allah Azza wa Jalla berfirman:
Kaum laki-laki (suami) adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita (istri).? (An-Nisaa’: 34)

Salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka dari penyimpangan, dan mengenalkan mereka kepada kebenaran. Karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.? (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasehati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan mengharuskan jiwa tersebut untuk berpegang dengan perintah Allah, melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan bertaubat dari perkara yang mendatangkan murka dan adzab-Nya. Di samping itu, menjaga istri dan anak-anak dilakukan dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta memaksa mereka untuk taat kepada perintah Allah. Seorang hamba tidak akan selamat kecuali bila ia menegakkan perkara Allah pada dirinya dan pada orang-orang yang berada di bawah perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.? (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)

Ayat ini menunjukkan wajibnya suami mengajari anak-anak dan istri tentang perkara agama dan kebaikan serta adab yang dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah Azza wa Jalla � kepada Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.? (Thaha: 132)
Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.? (Asy-Syu`ara: 214)

Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam hal memperoleh pengajaran dan pengarahan untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla. (Ahkamul Qur’an, 3/697)

Malik Ibnul Huwairits radiyallahu ‘anhu mengabarkan: “Kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada shahabatnya untuk memberikan taklim (pengajaran) kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat bermajelis dengan seorang ‘alim.

Dengan penjelasan yang telah lewat, dapat dipahami bahwa seorang suami/ kepala rumah tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak istrinya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari penyimpangan.

Namun sangat disayangkan, kenyataan yang kita lihat banyak kepala keluarga yang melalaikan hal ini. Yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi keluarganya sehingga mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual tidak masuk dalam hitungan. Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta dunia, bersenang-senang dengannya, namun bersamaan dengan itu mereka tidak mengerti tentang agama.

Paling tidak, bila seorang suami tidak bisa mengajari keluarganya, mungkin karena kesibukannya atau keterbatasan ilmunya, ia mencarikan pengajar agama untuk anak istrinya, atau mengajak istrinya ke majelis taklim, menyediakan buku-buku agama, kaset-kaset ceramah/ taklim sesuai dengan kemampuannya, dan menganjurkan keluarganya untuk membaca/ mendengarnya.

Mendidik Istri

Memasuki masa-masa awal pernikahan, semestinya seorang suami telah merencanakan pendidikan agama bagi istrinya. Minimalnya ia mempunyai pandangan ke arah sana. Dan sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena:
Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya?, kata penyair Arab.

Perlu juga diperhatikan, bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang harus ditunaikan walinya. Namun pada prakteknya, hak ini seringkali tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga tepat sekali ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam mengurusi wanita:
Pertama: Mereka yang melepaskan wanita begitu saja sekehendaknya, membiarkannya bepergian jauh tanpa mahram, bercampur baur di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di tempat kerja seperti kantor dan di rumah sakit. Sehingga mengakibatkan rusaknya keadaan kaum muslimin.
Kedua: Mereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa taklim (pengajaran), membiarkannya seperti binatang ternak, sehingga ia tidak tahu sedikit pun kewajiban yang Allah bebankan padanya. Wanita seperti ini akan menjatuhkan dirinya kepada fitnah dan penyelisihan terhadap perintah-perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala, bahkan akan merusak keluarganya.
Ketiga: Mereka yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai dengan kandungan Al Qur’an dan As Sunnah, karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala :
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.? (At- Tahrim: 6)

Dan karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya/ dimintai tanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)
(Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah Al-Wadi`iyyah, hal. 7-8)

Seorang istri perlu diajari tentang perkara yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, siang dan malamnya, tentang tauhid, bahaya syirik, maksiat dan penyakit-penyakit hati berikut pengobatannya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri menyediakan waktu khusus untuk mengajari para wanita. Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu berkata: “Datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata:
“’Wahai Rasulullah! Kaum laki-laki telah pergi membawa haditsmu, maka berikanlah untuk kami satu hari yang khusus di mana kami dapat mendatangimu untuk belajar kepadamu dari ilmu yang Allah telah ajarkan padamu.’ Beliau pun bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu di tempat ini (yakni beliau menyebutkan waktu dan tempat tertentu)’. Hingga mereka pun berkumpul pada hari dan tempat yang dijanjikan untuk mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan apa yang diajarkan Allah kepada beliau.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 101 dan Muslim no. 2633)

Bahkan istri-istri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam “lahir? dari madrasah nubuwwah dan mereka menuai bekal ilmu yang banyak terutama Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anha yang besar dalam asuhan madrasah yang mulia ini. Sepeninggal suami mereka, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, mereka menjadi pendidik umat bersama dengan para shahabat yang lain, semoga Allah meridhai mereka.

Gambaran Pengajaran Seorang ‘Alim terhadap Keluarga Mereka

Para pendahulu kita yang shalih (salafunash shalih) sangat mementingkan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Di samping mereka berdakwah kepada umat di luar rumah, mereka juga tidak melupakan orang-orang yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti kebanyakan manusia pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar rumah sehingga melalaikan pendidikan istrinya.

Bahkan sangat disayangkan hal ini juga menimpa keluarga da‘i. Ia sibuk berdakwah kepada masyarakatnya sementara istrinya di rumah tidak mengerti tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tidak tahu cara menghilangkan najis, dan sebagainya. Yang lebih parah, istri atau anaknya tidak mengerti tentang tauhid dan syirik. Bandingkan dengan apa yang ada pada salaf!

Lihatlah keluarga Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah. Beliau demikian bersemangat menyebarkan ilmu di tengah keluarganya dan kerabatnya sebagaimana semangatnya menyampaikan ilmu kepada orang lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar rumah dan dalam menulis ilmu tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim kepada keluarganya. Dari hasil pendidikan ini lahirlah dari keluarga beliau orang-orang yang terkenal dalam ilmu khususnya ilmu hadits, seperti: saudara perempuannya Sittir Rakb bintu ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-’Asqalani, istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya Zain Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah, dan Rabi`ah. (Inayatun Nisa bil Haditsin Nabawi, hal. 126-127)

Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul Musayyab rahimahullah membesarkan dan mengasuh putrinya dalam buaian ilmu hingga ketika menikah suaminya mengatakan ia mendapati istrinya adalah orang yang paling hapal dengan kitabullah, paling mengilmuinya, dan paling tahu tentang hak suami. (Al-Hilyah, 2/167-168, As-Siyar, 4/233-234)

Demikian pula kisah keilmuan putri Al-Imam Malik rahimahullah. Dengan bimbingan ayahnya, ia dapat menghapal Al-Muwaththa’ karya sang Imam. Bila ada murid Al-Imam Malik membacakan Al-Muwaththa’ di hadapan beliau, putrinya berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan tersebut. Hingga ketika ada kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat kepada ayahnya dengan mengetuk pintu. Maka ayahnya (Al-Imam Malik) pun berkata kepada si pembaca: “Ulangi bacaanmu karena ada kekeliruan?. (Inayatun Nisa’, hal. 121)

Perhatian pendahulu kita rahimahumullah terhadap pendidikan keluarganya ternyata juga kita dapatkan dari ulama yang hidup di zaman kita ini, seperti Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah. Dalam sehari beliau menyempatkan waktu untuk mengajari anak istrinya tentang perkara-perkara agama yang mereka butuhkan, hingga mereka mapan dalam ilmu dan dapat memberi faedah kepada saudara mereka sesama muslimah dalam majelis yang mereka adakan atau dari karya tulis yang mereka hasilkan. Demikian kisah ulama kita dengan keluarganya, lalu di mana tempat kita bila dibanding dengan mereka ?
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

»»  Read More...

Selasa, 04 Desember 2012

Alangkah Indahnya Berumah Tangga

Ketika melihat pasangan yang baru menikah, saya suka tersenyum. Bukan apa-apa, saya hanya ikut merasakan kebahagiaan yang berbinar spontan dari wajah-wajah syahdu mereka. Tangan yang saling berkaitan ketika berjalan, tatapan-tatapan penuh makna, bahkan sirat keengganan saat hendak berpisah. Seorang sahabat yang tadinya mahal tersenyum, setelah menikah senyumnya selalu saja mengembang. Ketika saya tanyakan mengapa, singkat dia berujar “Menikahlah! Nanti juga tahu sendiri”. Aih…aih…

Menikah adalah sunnah terbaik dari sunnah yang baik itu yang saya baca dalam sebuah buku pernikahan. Jadi ketika seseorang menikah, sungguh ia telah menjalankan sebuah sunnah yang di sukai Nabi. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Alloh hanya menyebut nabi-nabi yang menikah dalam kitab-Nya. Hal ini menunjukkan betapa Alloh SWT menunjukkan keutamaan pernikahan.

Dalam firmannya, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kalian yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).

“Subhanalloh…menikah itu indah,”kata ayah saya dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menjalaninya. Ketika sudah menikah, semuanya menjadi begitu jelas, alur ibadah suami dan istri.

Beliau mengibaratkan ketika seseorang baru menikah dunia menjadi terang benderang, saat itu kicauan burung terdengar begitu merdu. Sepoi angin dimaknai begitu dalam, makanan yang terhidang selalu saja disantap lezat. Mendung di langit bukan masalah besar. Seolah dunia hanya milik mereka saja, mengapa? karena semuanya dinikmati berdua. Hidup seperti seolah baru dimulai, sejarah keluarga baru saja disusun.

Namun sayang tambahnya, semua itu lambat laun menguap ke angkasa membumbung atau raib ditelan dalamnya bumi. Entahlah saat itu cinta mereka berpendar ke mana. Seiring detik yang berloncatan, seolah cinta mereka juga. Banyak dari pasangan yang akhirnya tidak sampai ke tujuan, tak terhitung pasangan yang terburai kehilangan pegangan, selanjutnya perahu mereka karam sebelum sempat berlabuh di tepian.Bercerai, sebuah amalan yang diperbolehkan tapi sangat dibenci Alloh.

Ketika Alloh menjalinkan perasaan cinta diantara suami istri, sungguh itu adalah anugerah bertubi yang harus disyukuri. Karena cinta istri kepada suami berbuah ketaatan untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga. Dan cinta suami kepada istri menetaskan keinginan melindungi dan membimbingnya sepenuh hati.

Saya jadi ingat, saat itu seorang istri memarahi suaminya habis-habisan, saya yang berada di sana merasa iba melihat sang suami yang terdiam. Padahal ia baru saja pulang kantor, peluh masih membasah, kesegaran pada saat pergi sama sekali tidak nampak, kelelahan begitu lekat di wajah. Hanya karena masalah kecil, emosi istri meledak begitu hebat. Saya kira akan terjadi “perang” hingga bermaksud mengajak anak-anak main di belakang. Tapi ternyata di luar dugaan, suami malah mendaratkan sun sayang penuh mesra di kening sang istri. Istrinya yang sedang berapi-api pun padam, senyum malu-malunya mengembang kemudian dan merdu suaranya bertutur “Maafkan Mama ya Pa..”. dan bergegas ia raih tangan suami dan mendekatkannya juga ke kening, rutinitasnya setiap kali suaminya datang.

Beberapa hari setelah kejadian itu, saya bertanya pada sang suami kenapa ia berbuat demikian. “Saya mencintainya, karena ia istri yang dianugerahkan Alloh, karena ia ibu dari anak-anak. Yah karena saya mencintainya” demikian jawabannya.

Ibn Qoyyim Al-Jauziah seorang ulama besar, menyebutkan bahwa cinta mempunyai tanda-tanda.

Pertama, ketika mereka saling mencintai maka sekali saja mereka tidak akan pernah saling mengkhianati, Mereka akan saling setia senantiasa, memberikan semua komitmen mereka.

Kedua, ketika seseorang mencintai, maka dia akan mengutamakan yang dicintainya, seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu saja akan mengutamakan istri dalam hal perlindungan dan nafkahnya. Mereka akan sama-sama saling mengutamakan, tidak ada yang merasa superior.

Ketiga, ketika mereka saling mencintai maka sedetikpun mereka tidak akan mau berpisah, lubuk hatinya selalu saling terpaut. Meskipun secara fisik berjauhan, hati mereka seolah selalu tersambung. Ada do’a istrinya agar suami selamat dalam perjalanan dan memperoleh sukses dalam pekerjaan. Ada tengadah jemari istri kepada Alloh supaya suami selalu dalam perlindungan-Nya, tidak tergelincir. Juga ada ingatan suami yang sedang membanting tulang meraup nafkah halal kepada istri tercinta, sedang apakah gerangan Istrinya, lebih semangatlah ia.

Saudaraku, ketika segala sesuatunya berjalan begitu rumit dalam sebuah rumah tangga, saat-saat cinta tidak lagi menggunung dan menghilang seiring persoalan yang datang silih berganti. Perkenankan saya mengingatkan lagi sebuah hadist nabi. Ada baiknya para istri dan suami menyelami bulir-bulir nasehat berharga dari Nabi Muhammad. Salah satu wasiat Rosululloh yang diucapkannya pada saat-saat terakhir kehidupannya dalam peristiwa haji wada’:

“Barang siapa -diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Alloh akan memberinya pahala seperti yang Alloh berikan kepada Ayyub atas kesabarannya menanggung penderitaan. Dan barang siapa -diantara para istri- bersabar atas perilaku buruk suaminya, maka Alloh akan memberinya pahala seperti yang Alloh berikan kepada Asiyah, istri fir’aun” (HR Nasa-iy dan Ibnu Majah ).

Kepada saudaraku yang baru saja menggenapkan setengah dien, Tak ada salahnya juga untuk saudaraku yang sudah lama mencicipi asam garamnya pernikahan, Petikan firman Alloh SWT dalam ingatan : “…Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah:187)

Torehkan hadist ini dalam benak : “Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Alloh memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya rengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya”
(Diriwayatkan Maisaroh bin Ali dari Ar-Rafi’ dari Abu Sa’id Alkhudzri r.a)

Kepada sahabat yang baru saja membingkai sebuah keluarga, Kepada para pasutri yang usia rumah tangganya tidak lagi seumur jagung, Ingatlah ketika suami mengharapkan istri berperilaku seperti Khodijah istri Nabi, maka suami juga harus meniru perlakukan Nabi Muhammad kepada para Istrinya. Begitu juga sebaliknya.

Perempuan yang paling mempesona adalah istri yang sholehah, istri yang ketika suami memandangnya pasti menyejukkan mata, ketika suaminya menuntunnya kepada kebaikan maka dengan sepenuh hati dia akan mentaatinya, juga tatkala suami pergi maka dia akan amanah menjaga harta dan kehormatannya. Istri yang tidak silau dengan gemerlap dunia melainkan istri yang selalu bergegas merengkuh setiap kemilau ridho suami.

Lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah suami yang memuliakan istrinya. Suami yang selalu dan selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qowwam istrinya. Suami yang begitu tangguh mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya.

Suami yang menjadi seorang nahkoda kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki “Surga”. Dia memegang teguh firman Alloh, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6)

Akhirnya, semuanya mudah-mudah tetap berjalan dengan semestinya. Semua berlaku sama seperti permulaan. Tidak kurang, tidak juga berlebihan. Meski riak-riak gelombang mengombang-ambing perahu yang sedang dikayuh, atau karang begitu gigih berdiri menghalangi biduk untuk sampai ketepian.

Karakter suami istri demikian, Insya Alloh dapat melaluinya dengan hasil baik. Sehingga setiap butir hari yang bergulir akan tetap indah, fajar di ufuk selalu saja tampak merekah. Keduanya menghiasi masa dengan kesyukuran, keduanya berbahtera dengan bekal cinta.

Sama seperti syair yang digaungkan Gibran,

Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir senyuman

Semoga Alloh selalu menghimpunkan kalian (yang saling mencintai karena Alloh dalam ikatan halal pernikahan) dalam kebaikan. Mudah-mudahan Alloh yang maha lembut melimpahkan kepada kalian bening saripati cinta, cinta yang menghangati nafas keluarga, cinta yang menyelamatkan. Semoga Alloh memampukan kalian membingkai keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah.

Semoga Alloh mematrikan helai keikhlasan di setiap gerak dalam keluarga. Juga Alloh yang maha menetapkan, mengekalkan ikatan pernikahan tidak hanya di dunia yang serba fana tapi sampai ke sana, the real world “Akhirat”.

Mudah-mudahan kalian selamat mendayung sampai ketepian.
Allohumma Aamiin.
»»  Read More...