“Tiada suatu kemulian ketika insan yang saling memadukan kasih, dalam satu ikatan yang suci. Tidaklah  seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai  sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya  sendiri.” 
Secara nalar pecinta dunia,  bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita?  Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu  yang kita cintai kepada saudara kita?
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal  ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal  tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman  seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman  saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini  tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya  mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan  dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi  kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang  selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah  Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Diantara  ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang  lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk  saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana  satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang  mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka  seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana  mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah.  Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau  mengutamakan orang lain?”
Wahai saudariku/i se Iman…
Semoga  Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan, jadilah seorang  mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah.  Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa  kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh  lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya  jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara  di dunia.
Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat  Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang  diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)  mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah  dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan  orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)  sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’  orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)  tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang  diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan  (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam  kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka  itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)
Dalam  ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke  Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah.  Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang  telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum  muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah  Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk  Madinah.
Saudariku fillah, perhatikanlah dengan  seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang  yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun  (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan  kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum  Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar)  sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji  orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai  orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh  kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus,  yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah  liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang  memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta  menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku/i fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah,  hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi  agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia  pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf  depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.”  Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa  berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka  berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada  pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).  Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah  dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang  yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan  melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja  mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari  kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan  sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga  kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian  tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan  beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku  tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling  mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”  terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu  keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh  keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu  kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada  orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya.  Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah,  bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara  kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang  kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka  dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a  yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak  mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut  akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah  yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa  kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah  salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar  kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam  sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk  sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan  kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita.  Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan  hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan  menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi  shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum.  Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu  sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah  yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di  rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah!  Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala,  dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama  muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang  teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan  kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib  tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang  banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang  lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk  nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui  tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama,  dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat  banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris  terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada  saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika  saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah  mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati  dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudariku fillah,  berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia  menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau  mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat  menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang  demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang  terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan  padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita  akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di  sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak ada  ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha  ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah  risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah,  manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada  Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan  sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan  melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Saudariku  muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-,  ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan  mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang  hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada  Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu  ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku  mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari  Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah  berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian  aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan  kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari  Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling  mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan  cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’  Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat  (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan  menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau  mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan bagi kita  lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara  cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat  pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang  yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin  sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia  lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju  Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita  cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…
Sumber :  http://ridho-mu.blog.friendster.com/

 
