وَمِنْ   آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا   إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ   لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan  di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk  kalian  pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung  dan  merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa  kasih  dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar  terdapat  tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)
Apatah  lagi bila pendamping hidup itu seorang yang shalih, yang akan   memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta   itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.
Merajut  dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak  bisa  dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena  dibutuhkan  ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh  bekal ilmu  agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun  demikian,  ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan  bagaimana  kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya  hak dan  kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang  ataupun  terputus.
Syariat  menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar  terhadap  istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.
Abdullah  ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri  Yaman atau  Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para  panglima dan  petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan  dalam hatinya  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,   ia berkata: “Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud   kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan   memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk   diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ   كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ   تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ  وَجَلَّ  عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا  كُلَّهَا  حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ  لأَعْطَتْهُ  إِيَّاهُ
“Seandainya  aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada  orang lain  (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk  sujud  kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan  seluruh  hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh  hak  suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya   (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana   (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh   menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)
Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya.
Namun  disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau  tidak  tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering  mengeluhkan  suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak  ingat akan  keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian  miring  terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para  wanita  dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan  seperti ini  menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang  pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):
أُرِيْتُ   النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ   يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ   الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ   مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Diperlihatkan  neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya  adalah para wanita  yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau:  “Apakah para wanita itu  kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak,  melainkan) mereka kufur  kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).  Seandainya engkau berbuat  baik kepada salah seorang dari mereka satu  masa, kemudian suatu saat  ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak  berkenan di hatinya) niscaya  ia akan berkata: Aku sama sekali belum  pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam   telah menyatakan: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk   sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang   istri untuk sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam   menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila   seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami   terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai   bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan   istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai   mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:
قُمْتُ   عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ   وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ  قَدْ  أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا  النِّسَاءُ
“Aku  berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk  ke  dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi   terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah   diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk   ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam   keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau   berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai   sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar   (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian   adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa   sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?”   Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.   Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun  dapat  menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada  kalian.”  Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud  dengan  kurang akal dan kurang agama?”. “Adapun kurangnya akal wanita   ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian   seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia   tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama   beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)
Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة  النِّسَاءُ
“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Bila  demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari   keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri   kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak   mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang   telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila seorang   istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak   pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh   kebaikannya.
Sungguh,  bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami,  sementara  suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering  berbuat  kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur  kepada  Allah ta`ala, Yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)
Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi;
Pertama: orang  yang tabiat dan kebiasaannya suka  mengingkari kenikmatan yang  diberikan kepadanya dan enggan untuk  mensyukuri kebaikan mereka maka  menjadi kebiasaannya pula mengkufuri  nikmat Allah ta`ala dan tidak mau  bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya   bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.   Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih   kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat   Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini,   ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula   maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah   memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat   manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi   kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka   orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada   Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan   kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).
Sepantasnya  bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab  Allah untuk  mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak  suami, karena  suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga  atau malah  sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka. Al-Hushain bin  Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya:
أَ   ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟   قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ   أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Apakah  engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab:  “Sudah.” “Bagaimana  (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah  lagi. Ia menjawab:  “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam  perkara yang aku  tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana  keberadaanmu saat  bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga  dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)
Saudariku,  janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri  apa yang telah  diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu  menemanimu di  dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul  dengan para  bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:
لاَ   تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا   مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا  هُوَ  عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah ,   karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah,   hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372)
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
Written by : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein 
Diambil dari : AKHWAT.WEB.ID
(Telah mengalami modifikasi, judul asli : Kekufuran Istri Berbuah Petaka)
  
(Telah mengalami modifikasi, judul asli : Kekufuran Istri Berbuah Petaka)

 
