Allah memberikan rizki sesuai dengan kebutuhan  hambaNya dan di waktu yang menurut Allah terbaik untuk kita  mendapatkannya. Jodoh adalah salah satu rizki yang Allah persiapkan  untuk kita.
Allah akan memberikan jodoh pada kita di saat yang  tepat. Bukan sesuai dengan keinginan kita. Seringnya kita menginginkan  sesuatu hanya berdasarkan pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah  Maha Tahu, kapan kita akan siap untuk menerima sebuah tanggung jawab  besar untuk membentuk suatu peradaban kecil yang di mulai dari sebuah  keluarga.
Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan berbeda  dalam satu bahtera tanpa visi dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah  atau berlayar hanya menuju samudera duniawi. Menikah adalah penggenapan  setengah agama karena menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam  tiap perbuatan di dalam rumah tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan  ketaqwaan maka ganjarannya adalah pahala. Tapi jika menikah hanya  berdasarkan nafsu atau bahkan mengikuti perputaran kehidupan dunia, maka  hasilnya pun akan sesuai dengan yang di niatkan.
Karena menikah  adalah ibadah. Menikah adalah sunnah di anjurkan Rasulullah. Menimbun  pahala yang terserak di dalam rumah tangga. Dan semua manusia yang  normal pasti akan mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu episode  hidup dimana kita akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu  kita berperan sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan  bermandikan kasih sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang  menuju pembelajaran menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai  penumpang di mana mengikuti arah kehidupan yang di tentukan orang tua,  melainkan kita akan menjadi driver untuk kehidupan kita sendiri kelak.  Kita bisa saja mengikuti jalur yang telah di lewati orang tua, jika  memang itu jalur yang tepat. Tapi jika jalur itu tak sesuai dengan arah  tujuan kehidupan rumah tangga kita yaitu jalur keridhaan Allah, maka  kita pun harus mencari jalur yang tepat.
Karena menikah itu adalah  satu kebaikan maka seharusnya harus di mulai dengan yang baik pula.  Misalnya, ketika kita ingin lulus ujian, maka kita harus belajar yang  giat bukan bermalas-malasan.
Ayat Allah masih jelas tertera dalam  kitabNya, bahwa pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula  dan sebaliknya. Dan ayat itu masih sama dengan pada saat Allah turunkan  beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun tergambar melalui ayat itu dan  Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita masih meragukan janji Allah  itu?
Masih haruskah berpacaran?
Mengenal lawan jenis  dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal kenyataannya,  hanya sedikit kejujuran yang ditampakkan pada saat pacaran. Rasa takut  yang besar untuk di tinggal pasangannya atau hendak mengambil hati  pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam  dirinya. Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak  menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju  jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian  lama menjalin masa pacaran, juga banyak dibumbui pelanggaran terhadap  rambu-rambu Allah. Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang,  berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan suami istri. Si pria seolah  menjadi hak milik wanita dan si wanita kepunyaan pribadi si pria.  Mereka pun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka. Yang terparah  adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan suami istri  dengan sang pacar yang notabene bukan mahram. Padahal pengesahan  hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa di sebut “nembak”,  misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan di terima dengan  ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya  itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang  hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad yang menghalalkan  hubungan tersebut. Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali  pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada yang namanya pacaran  islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan  tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan  apapun guna menyenangkan hati sang kekasih (yang belum halal) meskipun  hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka  dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati dan otak di penuhi hanya  dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita tertawa karena  cinta, kita meraung-meraung di tinggal cinta, kita pun mengemis cinta.  Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya. Tapi  sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan. Kita  berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang pacar, hebatnya bisa  menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua. Tak  sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan sang pacar dibanding  menemani orangtua. Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak  dibanding orang tuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati  pacarnya untuk di belikan sesuatu yang disuka dibandingkan memberikan  kejutan untuk seorang ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih  menurut pada perintah sang pacar dibanding orang tuanya. Hubungan yang  baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriah dan batiniyah seorang  anak dengan orangtua.
Jika pun akhirnya menikah, maka tak ada lagi  sesuatu yang spesial untuk di persembahkan pada pasangannya. Sebuah  rasa yang seharusnya diperuntukan untuk pasangannya karena telah di  umbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa  “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang di inginkan  pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada  waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral  dan mudah dipermainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba  hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka  kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika di sebabkan hal  yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung  akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang  terlanjur memendam benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati  dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan  psikis. Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan  kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah  kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara  drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang dirasakan hati akan terlihat pada sikap dan perilaku. Hati yang terpenuhi  nafsu akan enggan menerima hal baik. Ada orang bilang, jangan pernah  bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan  turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati. Jika  rasa itu baik dan ditujukan pada seseorang yang halal (suami atau  istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriah. Bukan sebuah  melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran?
Karena  ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah? Tak  selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya.  Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara  fisik sang pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia  yang akan merasa bosan jika selalu dicecoki dengan berbagai keluhan.
Malu di bilang jomblo?
Jika  dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus  malu? Justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena  sadar hati kita hanya patut ditujukan kepadaNya bukan yang lain.  Justru kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal  terlarang tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was was  karena telah melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan  kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki  kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin masih banyak lagi  kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu sang pacar  akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman  beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki  semangat baru dan sederet hal positif yang mereka kumandangkan. Tapi  sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang di dapat jauh lebih kecil  di banding kemudharatan yang di hasilkan. Karena segala sesuatu yang dilarang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang  berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan  orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk diikuti ketimbang  menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kembali  ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika diawali dengan  keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah  tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang  Allah ridhai. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhaan Allah dan  mendapat keberkahanNya. Aamiin. Wallahu a’lam...
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku) 
By:  kiptiah hasan
  

 
