Mungkin, sebagian besar dari kita akan berpikir, bagaimana mungkin  kita akan menikah dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya? Kita  tidak tahu bagaimana sesungguhnya ia, selain hanya profil singkat yang  tertulis di selembar kertas berikut foto close-up yang diberikan kepada pimpinan untuk dita’arufkan.
Lalu dari profil berikut foto tersebut kita dipertemukan secara langsung dengannya bersama pimpinan. Tak  banyak obrolan yang bisa diobrolkan dalam ta’aruf tersebut. Obrolan  hanya berlangsung beberapa menit saja, dan setelah itu sang pimpinan  meminta kepada yang dita’arufkan untuk memberikan jawabannya dalam tempo  waktu yang amat singkat, satu atau dua minggu saja.
Tentu, dalam mencari pasangan hidup tidak semua orang akan mau diatur  dengan aturan seperti ini. Cara seperti ini dinilai kurang bisa  mendekatkan antar calon pasangan yang seharusnya saling mengenal satu  sama lain sebelum menapak ke gerbang pernikahan. Mereka berpendapat,  dengan saling mengenal satu sama lain inilah diharapkan segala problema  yang terjadi saat menikah nanti dapat dilampaui dengan baik karena  keduanya sudah tahu sifat dan karakternya masing-masing.
Karena alasan inilah, banyak dari kita memilih untuk melirik  budaya pacaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat bebas. Memang, tidak  semua mutlak meniru gaya pacaran mereka: kencan di malam minggu,  bergandengan tangan, berpelukan dan sebagainya. Gaya pacaran hanya  sebatas via sms, FB atau mungkin hanya telpon-telponan saja tanpa pernah  ketemuan kecuali bertemu secara tidak sengaja (atau mungkin malah  disengaja) dalam acara-acara semisal pengajian, seminar dan sebagainya.  Alasan mereka hanyalah untuk lebih mengenal saja, agar nantinya ketika  sudah mantap berumah tangga si calon pasangan sudah tahu siapa dan  bagaimana calon pasangannya.
Lalu apakah melalui proses mengenal satu sama lain sebelum menjejaki  bahtera rumah tangga ini bisa menjadi jaminan bahwa kelak rumah  tangganya akan lebih harmonis? Jawabannya, jelas belum tentu. Jika  alasan mereka karena takut terjadi perceraian lantaran belum mengenal  sebelumnya, toh di luar sana banyak kasus yang bertahun-tahun pacaran  tetapi baru beberapa bulan menikah justru sudah cerai. Pada faktanya,  banyak hal dari mereka yang justru baru terbuka ketika sudah menikah.  Sebelum menikah, yang ditunjukkan hanyalah yang baik-baik saja sementara  yang buruk-buruk justru disembunyikan. Karena ketidakterusterangan  inilah yang kemudian memunculkan prahara saat sudah mengikat janji setia  dalam mahligai pernikahan.
Sebetulnya, apa yang selama ini mereka khawatirkan-takut jika nanti  terjadi perceraian jika menikah dengan orang yang tidak dikenali  sebelumnya-tidak sepenuhnya terbukti. Toh, banyak pasangan yang tidak  kenal sebelumnya justru sampai sekarang adem ayem. Padahal mereka ini  hanya tukar foto dan profil, lalu dipertemukan sekali untuk dita’arufkan  dengan didampingi pimpinan/ murabbi/ guru ngaji. Setelah memberikan  jawabannya untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, mereka juga tidak  saling bertukar sapa hingga ijab qobul tiba.
Lalu, apa yang menjadikan pernikahan mereka bertahan hingga kini?  Padahal, mereka tidak pacaran sebelumnya, atau paling tidak ta’aruf dulu  lewat sms, FB, dan sebagainya sebelum nanti memutuskan untuk menikah?
Menikah karena Allah 
Yah, karena mereka menikah karena Allah. Karena Allah-lah, mereka  menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan apapun keputusan-Nya  pastilah yang terbaik untuknya. Dengan kemantapan hati lewat istikharoh  dan kemudian tawakal’alallah mereka yakin sepenuhnya atas pilihan Allah tersebut. Dengan keyakinannya akan firman-Nya yang artinya, 
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang  keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji  (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan  laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” [QS. An-Nuur [24] : 26]
Mereka yakin jika seseorang yang akan bersamanya kelak adalah orang  yang mempunyai tujuan sama yakni sama-sama berjalan di jalan yang  diridhai Allah. Jika tidak, Allah pasti akan menjauhkan mereka dan  mengganti dengan yang lebih baik. Dari ayat diatas sudah jelas bahwa  Allah tidak mungkin menjodohkan mereka dengan orang yang senang berbuat  maksiat sedang mereka sendiri sangat menjauhi segala perbuatan maksiat.
Lagipula, yang mempertemukan mereka adalah pimpinan di tempat  ngajinya. Seorang pemimpin pastilah akan bertanggung jawab penuh dalam  menjodohkan murid/ anggotanya dengan anggotanya yang lain.
Biarpun tidak saling bertukar sapa (kecuali saat dipertemukan bersama  pimpinan), toh mereka bisa bertanya tentang bagaimana ia lewat pimpinan  yang mempertemukan tersebut atau sumber yang bisa dipercaya lainnya. 
Di  samping itu, saat dipertemukan bersama pimpinan, mereka juga bisa  mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai pertimbangan saat memberikan  jawaban apakah akan berlanjut (ke jenjang pernikahan) atau tidak.
Lalu, bagaimana jika mereka belum menaruh hati dengan si calon  pasangannya? Bagaimana pula jika sudah menikah nanti, mereka tak jua  bisa mencintai pasangannya? Tak perlu risau, karena Allah berjanji akan  menumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam pernikahan selama pernikahan  tersebut didasari atas kecintaan kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya yang  artinya,
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia  menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu  cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [QS. Ar Ruum [30] : 21]
Inilah yang membuat pernikahan mereka justru bertahan hingga  sekarang. Setidaknya anggapan bahwa untuk menikah si calon pasangan  seharusnya melakukan pendekatan untuk saling mengenal satu sama lain  terlebih dahulu (baca: pacaran) mutlak tidak terbukti. Bagaimanapun,  pacaran dari sisi apapun tak ada manfaatnya, kecuali bagi orang-orang  yang ogah dituntun dalam syariat Islam. Lalu bagaimana dengan “ta’aruf”  sendiri?
“Ta’aruf”!?
Penulis memang sengaja memberi tanda kutip pada kata “ta’aruf”  diatas. Ta’aruf pada arti umum adalah perkenalan. Ta’aruf sendiri lebih  dikenal sebagai proses saling mengenal antara laki-laki dan perempuan  sebelum menikah. Proses ini tidak sama dengan pacaran. Prosesnya selalu  dimediasi oleh perwakilan dari kedua belah pihak (pimpinan, guru ngaji,  atau juga orangtua).
Namun sayangnya, kata  “ta’aruf” disini seringkali disalahgunakan. Banyak ikhwan abal-abal yang  mendekati para akhwat dengan kedok “ta’aruf”. Si ikhwan gadungan  ini mencoba ber-”ta’aruf”-an dengan si akhwat tanpa melibatkan satupun  perantara diantara mereka. Mulanya PDKT terlebih dahulu lewat sms dengan  bertanya sesuatu yang penting-penting dulu (walaupun sebetulnya hanya  dipenting-pentingkan), semisal tanya tugas kampus, seputar amanah di  organisasi kampus dan sebagainya. Lalu, mengambil hati si akhwat dengan  rutin mengirimkan sms tausiah, rajin membangunkan shalat malam (walaupun  setelah sms kembali tidur lagi), mengingatkan untuk segera shalat  (sedang dia sendiri malah asyik main game) dan hal-hal baik lainnya agar  si akhwat pujaan bisa jatuh hati dengannya.
Tanpa disadari, obrolan mereka (masih lewat sms) mengarah ke hal  pribadi. Sikap terbukanya si akhwat ini membuat si ikhwan semakin berani  untuk sekadar bertanya, “Sudah makan belum?” lalu ditambah dengan  kalimat yang bernada mengingatkan dan sarat dengan perhatian, “Cepat  makan sana! Nanti sakit loh!”
Saking asyiknya smsan, obrolan dua insan berbeda gender ini kemudian melebar hingga telpon-telponan. Mengingat mereka ini tidak rumongso  (merasa) pacaran melainkan hanya ber-”ta’aruf”-an, maka yang  diobrolkanpun juga ada bau-bau agama semacam isian tausiah dari kajian  yang baru saja diikuti dan sebagainya.
Coba kita telaah apa yang penulis tulis diatas. Memang, dari kata  yang digunakan jelas sangat berbeda dengan pacaran. Apalagi bagi  sebagian orang memandang, kata “ta’aruf” ini lebih terlihat “Islami”.  Tetapi, betulkah “ta’aruf” seperti yang tersebut diatas adalah sesuai  dengan tuntunan Islam?
Jika ada seorang ikhwan mendekati akhwat tanpa ada perantara diantara  mereka, maka yang jadi pertanyaan sekarang, siapa yang ketiga di antara  mereka? Asyik smsan, telpon-telponan tanpa ada yang ketiga diantara  mereka (selain syaitan), bukankah ini namanya taqrobuzzina?
Entah itu “ta’aruf” (masih dalam tanda kutip), pacaran atau apapun namanya jika mengarahnya ke taqrobuzzina,  bukankah kita sebagai orang beriman dilarang oleh Allah mendekati zina?  Ta’aruf yang aman adalah melibatkan perantara entah pimpinan, murabbi  atau guru ngaji. Tidak perlu risau, meskipun tak mengenal sebelumnya.  Toh, proses perkenalan yang nanti mengarah ke gerbang pernikahan ini  selalu dilakukan bersama perantara yang InsyaAllah akan terjauhkan dari kemaksiatan.
Tak perlu juga malu, jika banyak yang mengatakan cara seperti itu  adalah cara yang sudah kuno. Dan jangan mudah goyah, jika mereka juga  mengatakan bahwa yang modern adalah dengan pacaran dulu. Biarlah mereka  mengatakan kuno atau tidak modern atau mungkin ada juga yang mengatakan  tidak “laku” (karena tidak punya pacar), toh Allah tidak melihat  hamba-Nya dari kacamata kuno, tidak modern atau tidak laku, karena Dia  hanya melihat hamba-Nya lewat ketakwaannya.
Sayangnya, banyak penulis jumpai, mereka yang awalnya melibatkan  perantara, setelah dita’arufkan dengan seseorang-yang kemudian menjadi  calon pasangannya-justru saling berhubungan satu sama lain tanpa ada  lagi perantara diantara mereka. Mungkin, sebagian orang berpendapat,  “Dia kan calonnya. Toh, nanti dia akan jadi suami/istrinya.”  Tetapi, bukankah itu baru calon? Suatu waktu bisa saja berubah jika  Allah menghendaki yang lain bukan? Jika ada sesuatu yang penting untuk  dibicarakan, alangkah lebih amannya untuk selalu melibatkan perantara  agar terjauhkan dari segala bentuk kemaksiatan. Semoga bermanfaat....
Courtesy of: mta-online.com 

 
