By : Shabra Syatila
“Wahai Rasulullah,” kata gadis muda itu, “Sungguh, Engkau telah  memberi kesempatan kepada saya terhadap apa yang dilakukan oleh ayah  saya. Saya setuju dengan apa yang telah ayah saya lakukan.”
Begitulah kira-kira jawaban yang disampaikan oleh sang gadis muda itu tatkala Rasulullah memberikan hak khiyar  (memilih) untuk memutuskan tentang pernikahan yang dilakukan  terhadapnya oleh sang ayah tanpa persetujuannya. Diriwayatkan oleh Ummul  Mukminin ‘Aisyah bahwa sebelumnya sang gadis menemuinya dan  menceritakan kondisi permasalahan yang dialaminya.
“Ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk mengangkat derajatnya dengan jahatnya. Dan aku tidak suka,” kisahnya.
‘Aisyah  tidak dapat memutuskan soal itu. “Tunggulah di sini sampai Rasulullah  datang,” katanya. Maka, kemudian datanglah Rasulullah kepada ‘Aisyah dan  gadis muda itu. Mengalirlah kisah pilu si gadis itu kepada Rasulullah,  ia menginginkan penyelesaian dari Rasulullah tentang pemaksaan  pernikahan yang dilakukan ayahnya terhadapnya. Mendengar penuturan itu,  Rasulullah pun mengirim utusan untuk memanggil ayah si gadis.
Di  hadapan sang ayah, Rasulullah memutuskan bahwa pemaksaan yang dilakukan  sang ayah tidak berlaku. Beliau juga menyerahkan keputusan itu kepada  sang gadis. Namun, jawaban sang gadis memang sangat mengagumkan dan  menunjukkan kecerdasannya.
“Ya Rasulullah,” jawabnya, “Saya setuju  dengan apa yang ayah saya lakukan, tapi saya hanya ingin tahu apakah  perempuan berhak untuk menentukan pernikahannya.”
Jawaban yang  cerdas dan penuh hikmah itu dicatat oleh Imam An Nasa’i dari ‘Aisyah.  Sementara itu Abdullah ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits serupa  sebagaimana dicatat oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad shahih nomor 1520.  Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Sang  gadis memang cerdas dalam mengambil tindakan sang ayah yang memaksanya  untuk dinikahi oleh lelaki pilihan sang ayah. Ia menyadari bahwa tujuan  sang ayah menikahkannya dengan lelaki itu bukan untuk kebaikan dirinya  maupun untuk kebaikan kehidupan dan agamanya. Ia sangat sadar bahwa sang  ayah menikahkannya semata-mata agar derajat sang ayah dapat terangkat  melalui hubungan kekerabatannya dengan anak saudaranya itu. Dan si gadis  menganggap bahwa perbuatan sang ayah itu adalah perbuatan yang jahat.  Maka, ia mencoba meminta kepastian hukum kepada Rasulullah dengan  mendatangi Ummul Mu‘minin ‘Aisyah agar dapat dipertemukan dengan  Rasulullah dan memutuskan hukum terkait pernikahannya yang terpaksa.
Rasulullah kemudian memutuskan perkaranya dan memberinya hak khiyar atas  pernikahan itu. Namun, sang gadis malah menjawab bahwa ia telah  menerima keputusan sang ayah yang memaksanya menikah dengan anak  saudaranya itu. Ia memutuskan bahwa ia menerima pernikahan tersebut dan  bersedia menjadi suami bagi sepupunya itu meskipun ia tidak menyukainya,  sebagaimana sebelumnya ia sampaikan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah.
Ia  mengambil sebuah keputusan atas pilihan yang telah disodorkan oleh  Rasulullah: menerima pernikahan itu atau menolaknya. Dan keputusannya  berakhir dengan kemantapan, ia memilih dan memutuskan untuk menerima  pernikahan itu. Di sini, ia sangat sadar bahwa dengan mengambil  keputusan itu berarti ia siap menjadi seorang istri dari seorang lelaki  yang tidak disukainya, bahkan mungkin dibencinya. Namun, dengan  kebulatan keputusan itu, sebuah keputusan yang diambilnya secara sadar  jaga, maka ia juga telah memilih sebuah konsekuensi logis dengan menjadi  seorang istri dari seorang lelaki. Dan konsekuensi itu adalah ketaatan,  pengabdian, bakti, pengorbanan, hak dan kewajiban secara psikis dan  biologis, serta kewajiban mencintai. Kewajiban mencintai. Sebuah  keputusan yang diambilnya secara sadarjaga.
Sang gadis telah  melalui fase dalam sebuah perjalanan cinta yang senantiasa ada: pilihan,  keputusan, dan konsekuensi. Tindakannya dalam memilih salah satu  keputusan, mengambil keputusan, dan menerima serta melaksanakan  konsekuensi dari keputusan itu adalah sebentuk kebersadarjagaan  mencintai, mencintai sang suami yang sebelumnya dibencinya.
Tidak  jauh berbeda setelah masa-masa itu. Tatkala Utsman bin Affan menjadi  Khalifah Rasul yang ketiga, menggantikan posisi Amirul Mukminin Umar bin  Khathab yang syahid di tangan kafir Majusi. Kala itu ia memutuskan  untuk menikah yang kesekian kalinya. Usianya memang tidak muda dan  bahkan sudah sangat terbilang tua. Saat itu, ia telah berusia delapan  puluh tahun. Rambutnya telah memutih dan kekuatan jasadnya tidak lagi  seperti pemuda.
Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa ia  menikahi seorang gadis belia yang baru mekar. Usianya baru delapan belas  tahun tatkala pernikahan itu terjadi. Namanya adalah Nailah binti Al  Qurafashah atau Nailah binti Al Farafishah Al Kalbiyah, seorang gadis  cantik dari negeri Syam. Bukan hal mudah bagi keduanya untuk saling  membersamai dalam singgasana pernikahan mengingat usia mereka yang  terpaut sangat jauh, delapan puluh dan delapan belas. Namun, keduanya  telah memutuskan untuk mencintai.
“Kamu kaget melihat semua  ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini,” kata Utsman  tatkala pertama kali menyambut Nailah. “Apakah engkau tak keberatan  menikah dengan seorang pria tua bangka?”
“Saya termasuk perempuan  yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua,” jawab Nailah sambil  tertunduk. Rasa malu menggelayuti hatinya.
“Namun, aku telah jauh  melampui ketuaanku,” kata Utsman kembali. Ia seakan menguji kesungguhan  keputusan gadis cantik yang mau dinikahinya itu, menelisik kesungguhan  keputusannya untuk mencintai lelaki tua seperti dirinya.
“Tapi  masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah,” jawab Nailah sambil  tersenyum, “Dan itu jauh aku lebih sukai dari segala-galanya.”
Selanjutnya  Utsman dan Nailah hanya memberikan bukti atas keputusan mereka  bersekutu dalam ikatan pernikahan itu. Utsman mencintai Nailah dan  Nailah pun mencintai Utsman. Keduanya merupakan para pecinta sejati yang  senantiasa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan cinta bagi orang yang  dicintainya. Maka, keduanya saling memberi, saling memperhatikan, saling  menumbuhkan, saling merawat, dan saling melindungi.
Nailah yang  disirami kerja cinta dari sang suami pun tumbuh dan semakin mekar. Ia  menjadi salah satu perempuan yang pandai bertutur kata dan sangat  menguasai sastra. “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna  akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku,”  kata Utsman suatu ketika mengenai Nailah. Darinya, Utsman memperoleh  putri bernama Maryam dan Anbasah.
Sejarah membuktikan kejujuran cinta mereka. DR. Sa’id bin ‘Abdul ‘Azhim menceritakan untuk kita dalam Mu’asyarah bil Ma’ruf bukti  kerja cinta mereka. Tatkala para pemberontak mendatangi Khalifah Utsman  bin Affan di rumahnya untuk membunuhnya, bangkitlah istri yang dicintai  dan mencintainya itu, Nailah binti Al Qurafashah, dengan membiarkan  rambutnya terurai, seakan-akan dia bersiasat dengan berusaha menggoda  sifat kejantanan para pemberontak tersebut. Spontan Utsman berteriak dan  membentaknya, seraya mengatakan, “Ambillah kerudungmu! Demi umurmu,  kedatangan mereka lebih ringan bagiku daripada kehormatan rambutmu.”
Ketika  salah seorang pemberontak masuk ke dalam rumah dan membabat Utsman yang  sedang membaca mushaf Al Qur’an hingga darahnya menetes ke mushaf itu,  Nailah tidak tinggal diam. Seorang pemberontak lain yang menerobos masuk  dicegah oleh Nailah dan merebut pedang yang dibawa si pemberontak itu.  Namun, pemberontak itu dapat merebut pedangnya kembali. Ia menebaskan  pedangnya dan memotong jari-jemari lentik Nailah yang melindungi sang  suami. Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Nailah menjatuhkan  tubuhnya ke pangkuan Utsman untuk melindungi tubuh sang suami dari  sabetan pedang para pemberontak hingga jarinya tertebas.
Para  pecinta sejati memang senantiasa memberikan perlindungan yang terbaik  bagi orang yang dicintainya. Meski harus berkorbankan harta, meski harus  berkorban raga, meski harus berkorban nyawa. Bahkan kemudian, potongan  jari Nailah bersama baju Utsman dibawa ke hadapan Mu’awiyah di Syam  untuk menunjukkan bukti kekejaman para pemberontak dalam membunuh  Utsman. Sebuah bukti cinta yang sangat mengagumkan.
Utsman  demikian dalam mencintai Nailah. Karena itulah Nailah pun merasakan dan  mencintai Utsman dengan sangat mendalam. Curahan cinta Utsman kepada  Nailah memenuhi seluruh ruang di hati Nailah hingga mampu menggerakkan  dirinya menjadi tameng bagi kesewenang-wenangan para pembunuh terhadap  suaminya, seorang lelaki yang senantiasa menghidupkan malam dengan Al  Qur’an dalam rangkaian rakaatnya. Utsman senantiasa membuktikan bahwa ia  mencintainya dalam keadaan susah dan senang. Maka, semakin luaslah  ruang hati Nailah untuk menampung cinta dari sang suami. Demikian pula  kesadarannya untuk mencintai lelaki tua itu. Ruang hatinya terlalu penuh  dengan cinta dari lelaki tua itu hingga tak mampu terisi oleh cinta  yang lain.
Maka, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyampaikan  pinangannya untuk janda Utsman bin Affan itu, Nailah dengan tegar  menjawab, “Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan  kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Bahkan, kemudian ia merusak wajahnya  yang cantik untuk menolak semua peminang yang datang kepadanya. Ia  memutuskan untuk hanya mencintai Utsman, lelaki tua itu.
Mencintai  adalah sebentuk pernyataan kesiapan diri untuk melakukan kerja-kerja  cinta. Maka, mencintai bukanlah tentang romantisme, melankolisme,  erotisme, kemesraan, khayalan, dan keindahan semata, namun tentang kerja  cinta dan pertaruhan kepribadian serta integritas si pecinta, walaupun  kita tidak menafikkan eksistensi hal-hal indah tersebut. Mencintai  adalah pekerjaan yang besar dan berat. Karena itu, mencintai adalah  pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun, hanya sedikit orang yang  menyadari hal ini.
Dalam Serial Cinta, Anis Matta  mengisahkan tentang pecinta yang tak kalah dahsyat dalam mencintai. Ini  tentang seorang perempuan yang sama sekali tidak cantik. Ia memiliki  wajah yang jelek. Kulitnya berwarna hitam keriput. Usianya sudah tua.  Dipadu dengan kenyataan bahwa dia seorang diri yang tidak kaya. Rumah  yang dimilikinya seperti rumah hantu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah  menikah. Sebabnya tentu saja sederhana, ia tidak menarik bagi seorang  lelaki pun untuk menikahinya.
Sebagai seorang perempuan, tentu ada  keinginan di hatinya untuk membina rumah tangga dengan seorang lelaki,  berbahagaia bersamanya, dan menyandang status sebagai seorang istri. Ia  sangat ingin menjadi seorang istri. Maka, ia bertekad untuk menjadi  istri bagi seorang lelaki. Dikumpulkannya harta berupa emas dalam jangka  waktu yang lama. Ia berencana ‘membeli’ seorang suami dengan emas-emas  yang dimilikinya itu. Dan gayung pun bersambut.
Seorang lelaki  bersedia menikahinya. Ia adalah seorang lelaki yang tampan dan kaya.  Sungguh, ini adalah keputusan yang besar bagi sang lelaki untuk menikahi  perempuan ini. Namun, ia tetap kukuh untuk menikah. Dan pernikahan pun  terjadi.
Di rumah sang perempuan yang dinikahinya, kegamangan  kembali muncul di hati sang lelaki. Ia meragukan kemampuan dirinya untuk  menjalani keputusannya. Sejenak. Ia kembali menguatkan tekadnya dan  teguh pada keputusannya. Ia sudah memutuskan untuk menikahi dan  mencintai perempuan itu. Ia telah mengambil keputusan dan siap dengan  segala konsekuensinya.
“Ini emas-emasku yang sudah lama ku tabung,  pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan  status bahwa aku pernah menikah dan menjadi istri,” kata si perempuan  itu. Ia merasa bahwa ia memang hanya pantas untuk ‘membeli’ suami dan  tidak pantas dicintai oleh seorang lelaki.
Namun, jawaban lelaki  itu mengejutkannya. Lelaki tampan dan kaya itu malah menjawab, “Aku  sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.”
Semua  orang terheran-heran, tulis Anis Matta. Keluarga itu tetap utuh  sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka dikaruniai anak-anak dengan  kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian,  orang-orang menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki itu menjawab enteng,  “Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik.  Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan  untukku. Sampai aku bahkan tak pernah merasakan kulit hitamnya dan wajah  jeleknya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang  melupakan aku pada fisik.”
Bisa jadi kita hanya kan berdecak kagum  menyaksikan hal-hal ajaib semacam ini. Namun, jika kita memahami bahwa  seseorang yang memilih sebuah pilihan, mengambil kuputusan, dan siap  menerima konsekuensi logis atas pilihan tersebut, maka tidak ada hal  yang ajaib bagi kita. Kisah-kisah cinta yang dahsyat itu menjadi logis  karena pemahaman akan kerja cinta mereka yang sebenarnya sederhana tapi  melelahkan itu: mencintai.
Mungkin kita terlalu sering menyaksikan  orang-orang yang merasai cinta di dalam hidup mereka. Terlena dengan  kegembiraan, kebahagiaan, romantisme, kemesraan, erotisme, dan  keterlukaan terus-menerus. Terlalu sering kita menyaksikan orang-orang  yang berbunga-bunga dan seakan menjadi kehilangan akal sadarjaganya  tatkala ia mengaku sedang jatuh cinta. Mereka mengaku mencintai  seseorang. Namun, tingkahlaku dan kesadarannya sama sekali tidak  menunjukkan bahwa ia mencintai. Benar bahwa mereka merasakan cinta, tapi  belum tentu ia mencintai. Karena cinta adalah kata benda, dan mencintai  adalah kata kerja. Kebersadarjagaan, keinginan, kemauan, keputusan,  kemampuan, dan tindakan mencintai. Semua orang dapat merasakan cinta,  tapi tidak semuanya dapat mencintai seseorang. Bisa jadi Kita termasuk  orang yang sudah ribuan kali jatuh cinta, tapi mungkin sama sekali belum  pernah mencintai seseorang. Ya, belum pernah sekali pun mencintai.
Courtesy of: dakwatuna.com 
  

 
