Ridha berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti  menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun  tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara  keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridha Allah kepada  hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah (Al-Mausu'ah Al-Islamiyyah  Al-'Ammah: 698). Ini sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, ''Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.'' (QS 98: 8).
Ridha Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan  kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan  ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti menerima dengan sepenuh  hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah dengan  melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun  menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan  nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah. 
Dari definisi ridha tersebut terkandung isyarat bahwa  ridha bukan berarti menerima begitu saja segala hal yang menimpa kita  tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridha tidak sama dengan  pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita  dituntut untuk ridha. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah  menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita  tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS 13: 11).
Hal ini berarti ridha menuntut adanya usaha aktif.  Berbeda dengan sikap pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa  ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam ridha terdapat makna yang  hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu  perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target  yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara  yang pahit. Karena ridha terhadap aturan Allah seperti perintah  mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya mengakui itu adalah  aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya. 
Begitu juga ridha terhadap takdir Allah yang buruk  seperti sakit adalah dengan berusaha mencari takdir Allah yang lain,  yaitu berobat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khathab ketika  ia lari mencari tempat berteduh dari hujan deras yang turun ketika itu.  Ia ditanya, ''Mengapa engkau lari dari takdir Allah, wahai Umar?'' Umar  menjawab, ''Saya lari dari takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang  lain.'' 
Dengan demikian, tampaklah perbedaan antara makna  ridha dan pasrah, yang kebanyakan orang belum mengetahuinya. Dan itu  bisa mengakibatkan salah persepsi maupun aplikasi terhadap makna ayat-  ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridha terhadap segala yang Allah  tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap fatalisme.  Sedangkan ridha justru mengajak orang untuk optimistis. Wallahu a'lam. 
Sumber: Republika - Jumat, 18 Maret 2005 

 
