 Sebab itu maka Wanita yang saleh,  ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak  ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) .(QS. An-Nisa’ : 34).
Sebab itu maka Wanita yang saleh,  ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak  ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) .(QS. An-Nisa’ : 34).Dalam ayat ini setidaknya ada tiga karakteristik utama wanita muslimah yang ditampilkan oleh Allah  , di antaranya sebagai berikut; 
 1. Shalihat  yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala  dengan penuh keikhlasan hanya  mengharap ridha-Nya semata, bukan sanjungan dan pujian manusia. Dan  dalam beribadah kepada-Nya, ia selalu mencontohi Rasulullah . Ibadah  secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk dan patuh.  Sedangkan menurut Istilah seperti yang dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu  Taimiyah,” ibadah  adalah sebuatan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai  oleh Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang  batin.
  Ibadah bisa dibagi menjadi tiga macam yaitu;
- Ibadah Qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), Raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), Tawakkal, Ragbah (senang).
- Ibadah badaniyah (badan) seperti shalat, puasa, zakat, haji.
- Ibadah lisaniyah (lisan), seperti zikir, membaca al-Qur’an dan lainnya.
Dengan demikian ibadah  mencakup seluruh tingkah laku dan ucapan seorang mukmin jika itu  diniatkan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan adat dan kebiasaan yang  mubah bisa menjadi Ibadah apabila diniatkan sebagai bekal untuk taat  kepada Allah. Seperti tidur, makan, mencari nafkah dan lainnya.
   Kesalahan persepsi tentang ibadah bisa terjadi dengan cara mengurangi  makna ibadah serta membatasi pelaksanaannya pada ibadah ritual dan  syiar-syiar tertentu saja. Tidak ada ibadah yang berkaitan dengan  masalah sosial, akhlak dan muamalah. Begitu juga  mereka yang  berlebih-lebihan dalam masalah ibadah, sehingga yang sunah kadang  dianggap wajib, atau yang mubah (boleh) dianggap haram. 
Ibadah yang  benar harus berlandaskan pada tiga filar yang utama yaitu : 
- Al-Hubb (cinta), yang harus dibarengi dengan sikap rendah diri.
- Al-Khauf (takut), yang harus dibarengi dengan rasa raja (harap).
- Ar’raja’ (mengharap).
 Syekhul Islam Ibnu Taimiyah  berkata, “Dienullah adalah menyembahnya dengan taat dan tunduk  kepadaNya. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna tunduk  dan cinta. Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci  kepadanya maka ia bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan jika ia  menyukai sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya maka diapun tidak  menghamba padanya. Karena itu tidak cukup salah satu dari keduanya dalam  beribadah kepada Allah, tetapi hendaknya Allah lebih dicintainya dari  segala sesuatu dan Allah lebih diagungkan dari segalanya. Tidak ada yang  berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna selain Allah  ”. (Majmu’ Tauhid Najdiyah, hal.542)
  Syekhul Islam berkata, “ Inti  agama adalah dua yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan  tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah  . 
Muslimah juga tidak menyekutukan Allah   dalam ibadahnya baik,
  >>Syirik Ashghar  (kecil), yaitu beberapa perbuatan yang yang disebutkan oleh Al-Qur’an  dan hadits sebagai syirik tetapi tidak termasuk syirik besar seperti  bersumpah dengan selain Allah   dan riya’ sebagaimana hadits Nabi yang artinya, “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatir kepada kalian adalah syirik kecil yaitu riya’, (HR.Ahmad)
  >>Syirik Khofi (samar) , yaitu syirik yang terselubung seperti yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Bagaimana  sekiranya aku beritau kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti  (terjadi) pada kalian daripada AL-Masih Ad-Dajjal?, mereka menjawab, Ya,  wahai Rasulullah!. Beliau bersabda, “Syirik yang samar, seperti seorang  yang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus shalatnya  karena dia melihat ada orang lain yang melihatnya”,  ( HR.Ahmad , dari Abi Sa’id Al-Khudri). Dalam riwayat al-Hakim Rasulullah   pernah  mengilustrasikan syirik itu lebih samar dari semut yang merayap di atas  batu hitam di tengah malam yang gelap- gulita. Oleh sebab itu beliau  mengajarkan do’a sebagai berikut; 
 اَلَّلهُمَّ ِإنيِّ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ شَيْئًا وَأنَا اَعْلَمْ وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنَ الذَّنْبِ اّلَذِي لاَ أَعْلَمُ 
 Artinya,  “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari segala perbuatan syirik yang  kuketahui, dan aku memohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak kuketahui”. 
  2. Qhanithat (taat).
 Al-Hafidz Imaduddin Abil Fida’ Ismail Ibnu Katsir menulis perkataan Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan Qhanithat dalam  ayat ini adalah taat kepada suaminya. karena lafadz ayat ini umum, maka  taat yang dimaksud juga meliputi taat kepada kedua orang tua,  sebagaimana firman Allah  , “ Dan  Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan  hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.  Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur  lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan  kepada keduanya perkataan ”ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan  ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu  terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah; “Wahai  Tuhanku kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah  mendidik aku waktu kecil”. (QS.Al -Isra’; 23-24)
  Ibu dan bapak adalah orang yang pertama setelah Allah    yang berjasa mewujudkan kita di dunia. Tidak ada seorangpun setelah  Nabi Adam dan Nabi Isa yang terlahir tanpa proses kedua orang tua.  Perjalanan panjang sejak dari setetes mani, menjadi darah kemudian  segumpal daging yang akhirnya menjadi manusia yang sempurna membutuhkan  perjuangan yang berat dari mereka berdua.  Al-Qur’an sendiri  mengilustrasikan perjuangan berat tersebut dengan lafaz “Wahnan Ala Wahnin” (lemah di atas kelemahan), (QS.Lukman;13), di ayat lain dengan kata-kata “Hamalathu Kurhan wa Wadha’athu Kurhan” (Mengandungnya dengan susah dan melahirkan dengan susah pula). (QS.Al-Ahqaf;15). 
  Allah   menceritakan  semuanya dengan tujuan sebagaimana di akhir ayat, agar setiap anak  manusia bisa bersyukur kepada Allah dan kepada orang tuanya. Bersyukur  kepada Allah kata Syekh As-Sa’di,”Yaitu  dengan beribadah kepada Allah yang menciptakanya dan jangan sampai  keberadaannya di dunia untuk maksiat kepada Allah. Adapun bersyukur  kepada orang tua yaitu  dengan berbuat baik dan taat kepada keduanya. (Taisir Karimurrahman; hal. 597). 
  Kewajiban berbuat baik kepada orang tua diperintahkan oleh Allah   dengan menggunakan lafaz “Wawasshaina” (Kami wasiatkan) kepada manusia (QS.Al-Ankabut;8, Lukman;14). Ini  dimaksudkan agar manusia tetap ingat kepada kewajiban tersebut apapun  profesi dan kedudukannya kelak. Juga Allah mensejajarkan perintah  berbuat baik pada orang tua, dengan kewajiban beribadah kepada-Nya (QS.Isra’; 23), menunjukkan betapa agungnya perintah tersebut. Maka ketika Rasulullah  ditanya perbuatan apa yang paling afdhal, beliau menjawab setelah shalat di awal waktu adalah berbakti pada orang tua (HR.Bukhari Muslim). 
   Suatu hari di musim haji seorang laki-laki menggendong ibunya ketika  tawaf dalam keadaan yang berdesakan. Ia bertanya kepada Ibnu Umar,”Apakah dengan ini aku sudah membalas jasa ibuku ?”. Ibnu Umar menjawab,“Belum,   sekalipun setetes air susunya. Dan seorang tidak akan mungkin bisa  membalas jasa kedua orang tuanya kata Rasulullah, kecuali ia dapatkan  bapaknya  tertawan menjadi budak kemudian dia tebus dan memerdekakannya.  (HR.Muslim). 
  Sebagai orang yang mengandung, melahirkan dan menyusui bahkan sampai dua tahun (QS.Al-Baqarah;233), ibu mestinya mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan ayah. Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ,”Siapakah orang yang paling berhak untuk dilayani dengan sebaik-baiknya ?”. Beliau menjawab “Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”, Beliau menjawab ,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Bapakmu !”. (HR.Bukhari Muslim). 
   Mentaati orang tua kata Imam Ahmad diwajibkan pada semua yang mubah  (dibolehkan dalam agama). Kalau orang tua melarang melakukan sesuatu  atau memerintahkan melakukan sesuatu sekalipun itu dalam masalah  pribadi, anak harus mentaatinya. Seperti seorang ibu yang memerintahkan  anaknya untuk menceraikan isterinya yang tidak taat dan tidak bisa  berbuat baik pada mertuanya, ia harus melakukannya. Sebagaimana yang  diceritakan  oleh Abdullah bin Umar bahwa bapaknya Umar bin Khattab  pernah menyuruhnya untuk menceraikan isterinya yang sangat dia cintai.  Ketika itu diadukan kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Ceraikanlah isterimu !” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi, shahih). 
   Bahkan seorang tidak boleh mengorbankan hak orang tuanya sekalipun  dengan tujuan ibadah  Selama ibadah itu bukan hal yang wajib. Ada  seorang yang datang kepada Rasulullah meminta ikut berjihad untuk  mencari ridha Allah. Nabi bertanya,“Apakah orang tuamu masih hidup ?”. Dia menjawab,“Ya”. Nabi bersabda,“Maukah engkau mencari ridha Allah ?. Pulanglah dan perbaikilah cara berbaktimu pada keduanya !” (HR.Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain Nabi bersabda,“Pulanglah dan berjihadlah  pada keduanya”, (HR.Bukhari Muslim).  Maksudnya berjihad dengan cara berbuat baik kepadanya. Hadits ini  menunjukkan agungnya kedudukan orang tua. Berbuat baik kepadanya lebih  utama daripada jihad fisabilillah. Dan kalau jihad itu Fardhhu Kifayah maka diharamkan seorang anak pergi tanpa seizin kedua orang tuanya (Riyadhusshalihin; 137).
  Sekalipun orang tua berbeda agama, seorang anak tetap berkewajiban untuk berbuat baik kepadanya. (QS. Lukman;15).  Asma’ binti Abu Bakar pernah mengadukan ibunya yang non muslim kepada  Rasulullah yang selalu datang kepadanya minta untuk minta diperlakukan  dengan baik. Nabi bersabda,“Perlakukanlah ibumu dengan cara yang baik”, (HR.Bukhari Muslim). Dan  berbuat baik kepada keduanya masih diwajibkan sekalipun mereka sudah  meninggal dunia. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi, apakah masih ada  hak orang tuanya setelah ia meninggal dunia. Nabi menjawab,“Mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, dan menyambung persahabatan yang pernah dia bina di masa hayatnya”. (HR.Ahmad )
  Begitu agungnya kedudukan orang tua, maka Allah   melarang untuk durhaka kepada keduanya. Sekalipun hanya dengan perkataan,“Uffin !” (ah), (QS.Isra’; 23). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,“Jangan  mereka mendengar kata yang tidak baik darimu walaupun sekedar perkataan  “ah”, yaitu perkataan yang sangat sepele. Jangan pula keluar darimu  perbuatan yang tidak layak baginya. Tetapi sebaliknya mengatakan  perkataan yang lunak dan berisi penghormatan dan do’a baginya”,(Tafsir  Al-Qur’an Al-Adzim;III/50). 
  Rasulullah  menganggap, durhaka kepada orang tua, termasuk salah satu dosa besar. (HR.Bukhari Muslim).  Dan akibat kedurhakaannya, seorang anak bisa merasakannya semenjak di  dunia. Kita masih mengingat kisah Si Malin Kundang anak durhaka. Syekh  Athiyah Muhammad Salim, seorang guru besar di Masjid Nabawi pernah  bercerita kepada penulis, ketika beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah  Syariah di Madinah. Beliau pernah mengadili seorang anak yang membunuh  ayahnya dengan cara menyembelihnya di balik batu besar di tengah padang  pasir. Ketika ditanya kenapa melakukan pembunuhan itu dan kenapa memilih tempat di sana ?. Anak tersebut menjawab,”Sebelum saya membunuhnya, ayah saya berkata,”Di sinilah aku dulu juga membunuh ayahku”.
 Allah   mengajarkan do’a untuk orang tua,” Ya,  Allah ! Tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau  berikan  kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat  amal yang salih yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan  (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. (QS.Al-Ahqaf;15)
  Juga taat kepada pemimpin dan siapaun selama tidak mengajak kepada kemaksiatan, Rasulullah  bersabda,”  Tidak boleh ta’at kepada makhluk, dalam maksiat kepada Khaliq (Allah).  Juga tidak boleh taat pada orang tua dalam kemaksiatan, atau mengajak  kepada kemusyrikan (QS.Lukman;15 ). 
  Bagi seorang isteri ta’at kepada suami merupakan sebuah ibadah dan  kewajiban. Rasulullah bersabda, “Apabila wanita telah shalat lima waktu,  dan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati  suaminya, maka dikatakan kepadanya; masuklah ke surga lewat pintu mana  yang disuka”, (HR.Ahmad dari Abdurrahman bin Auf). 
 Dari Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda,”Kalau  wanita diajak oleh suaminya ke ranjang, kemudian dia menolak maka  malaikat akan melaknatnya sampai pagi”, (HR.Bukhari Muslim). Semuanya ini karena besarnya tanggungjawab suami kepada isteri, sehingga dia berhak mendapatkan perlakuan dan hak seperti itu. 
  3. Hafidzaat (menjaga  diri).
Islam memuliakan wanita muslimah dari kedzaliman jahiliyah yang  memperbudak wanita bahkan membunuh anak-anak wanitanya, sebagaimana  firman Allah  , “Dan  apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak  perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. ia  menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita  yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan  menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah  (hidup-hidup) Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl (16):58-59). 
   Al-Qur’an sangat memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan jender  sebagaimana yang bisa dianalisa dengan lewat beberapa variabel sebagai  standar di antaranya; laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah   yang mempunyai potensi dan  peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal (muttaqin), (QS. 49:13). Penghargaan dan balasan yang akan diperoleh oleh hamba adalah sama tanpa  melihat status jendernya, (QS.16:97). Sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi di dunia dan di akherat, (QS.3:195), (QS.4:124), (QS.16:97), (QS.40:40). Beberapa bentuk kekhususan yang diberikan kepada laki-laki seperti sebagai qawwamah (pelindung) bagi perempuan, (QS.4:34), mendaptakan warisan yang lebih, (QS.4:11), diperkenankan poligami bagi yang memenuhi persyaratan, (QS.4:3), tidaklah  menyebakan laki-laki menjadi hamba yang utama, tetapi harus dipahami  sebagai bentuk tanggung jawab yang lebih besar kepada laki-laki dalam  kapasitasnya yang mempunyai peran publik dan sosial  yang lebih dari  perempuan. 
  Untuk menjaga kehormatan dan kesucian itulah, Allah   memerintahkan muslimah untuk menutup auratnya dan tidak dipamerkan kepada orang yang bukan mahramnya. Allah   berfirman, » Katakanlah  kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka,  dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan  perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah  mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan  perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau  ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami  mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara  laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau  wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau  pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap  wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan  janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang  mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang  beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nur (24): 31). Juga firman Allah   ,” Hai  Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan  istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke  seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk  dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha  Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33):59)
 Dari Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda,”  Wanita yang paling baik adalah muslimah yang apabila anda melihatnya,  kau akan senang, apabila kau menyuruhnya dia akan taat, dan apabila  engkau tidak ada di sampingnya, dia akan menjaga dirinya dan hartamu, (HR. Ibnu Jarir)
Inilah beberapa karakteristik utama muslimah yang ideal menurut al-Qur’an dan Sunnah. semoga Allah   memberikan kita hidayah dan inayah-Nya kepada kita agar kita bisa menjagi hamba-hamba-Nya yang ideal,  Amin...  Wallahu A’lam bishshawab.
Oleh : Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc., M.Ag
Rujukan: 
 - Tafsir al-Qur’an al-Adzim oleh Imaduddin Isma’il Ibnu Katsir juz 1/653-655). 
 - Riyadushshalihin
Dikutip dari : http://ummusalma.wordpress.com 
 
