Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara  mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak  dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat  masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya? 
Jawab :
Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam.  Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh  orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh  sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah  Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan  sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam  yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan  Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih  maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah  yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram),  pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi  umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara  tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa  yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa  Ta’ala berfirman:
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui  lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka  bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari  kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka  lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah  Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di  atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian.  Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena  sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.”  (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya  terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih,  dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang  menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang  memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran  terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang  bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat.  Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi  ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari  tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak  meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan  masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki.  Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam  Shahih Al-Bukhari.
Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan  untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun  mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum  lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai  menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk  memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah  tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam  Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya  adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir,  dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu  Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan  dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga  merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf  terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah  shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika  di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana  ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang  berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu  terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam  begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan  terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa  An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat  dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena  seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa  Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan  tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal  itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian  berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam  hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya  :
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari  mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat  berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu  ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan)  kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)  maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu  kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai  tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka  secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak  dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi  para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak  diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih  butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang  sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena  persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para  shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi  terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam  Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil  Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum  meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak  tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang  menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita  saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah,  instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang  lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari  kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ”  Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah  kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita,  kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu  ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya  sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah  radhiyallahu ‘anhuma:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan  sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai  mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia  akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga  zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan  zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu  berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau  mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk  dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan  wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga.  Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau  menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak  dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah  zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau  menuju tempat perzinaan adalah zina kaki.
Sementara kalbu berkeinginan  dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu.  Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan  yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina  kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh  Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits  no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk  dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang  tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin  Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam  Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain  mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat  tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga  pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga  firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka  menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang  diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda:  ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang  terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara  lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan  suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa  perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena  bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang  terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu  berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan  kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak  berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang  ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi  jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta  kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu  secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling  mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang  mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah.
Demikian  pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin  dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan  sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna  pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah  tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang  hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang  bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi  (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk  diketahui demi maslahat pernikahan.
Bisa pula dengan cara meminta  keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang  seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai  keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun  harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam  kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang  dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian  pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal  lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais  ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia  minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka  beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan  tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin  yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR.  Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan  calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan  tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu  Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar)  berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib  dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai  dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya  haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan  hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan  adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak  dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang  membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.
Sumber : www.asysyariah.com

 
