Manusia memang tidak lepas dari salah dan lupa. Opsi terbaik  saat  kita khilaf adalah sesegera mungkin bertobat, bersungguh-sungguh  menyesali dosa kita, tidak mengulanginya lagi dan banyak beramal saleh  dengan harapan agar amal saleh tersebut dapat menghapus dosa yang pernah  kita perbuat.
But, the problem is, kadangkala, ada seseorang yang dengan bangganya menceritakan kelamnya masa lalu atau aib yang pernah ia lakukan.
Mungkin kita pernah mendengar seseorang bercerita–dengan santai dan cekakak-cekikik-  tentang list aib-aibnya, seperti kalimat di bawah ini:
“Saya pernah pacaran dengan si A dan si B lho, bla… bla… bla”. “Gue  dulu suka minum miras, merk A dan merk B mah sudah jadi langganan Gue…”
Hei… bukankah pacaran dan mabuk miras itu dosa? Lantas kenapa mesti  diceritakan dengan penuh kebanggaan? Bukankah dosa-dosa itu semestinya   disimpan rapat, tak usah ada yang tahu. Jika perlu, simpan dosa-dosamu  dalam brankas dan buang ke laut. Aneh bukan, bermaksiat koq bangga.
Ada aturan yang mesti kita pahami, bahwa dosa adalah hal yang memalukan jadi tak perlu ada “press conference”. Segatal apapun mulut kita ingin mengumbar dosa masa lalu, it’s enough, tidak layak kita ceritakan pada orang lain.
Banyak fakta menunjukkan si fulan melakukan dosa karena terinspirasi  dosa orang lain, biasanya anak-anak kos yang gemar berbagi pengalaman.  Misalnya,  si A suka  cerita pada si B tentang betapa serunya  berpacaran, enaknya nyabu, dll dan lama-lama si B juga ingin mencoba  pacaran dan nyabu, nah lho?
Tanpa kita sadari kita telah menjerumuskan orang lain ke jurang dosa  gara-gara kita hiasi cerita dosa kita dengan kata-kata nan indah,  sehingga bermaksiat jadi terlihat keren bin seru, naudzubillahi min  dzalik.
Bila kita pernah khilaf, boleh saja kita menceritakannya. Tapi harus  pada orang yang berkompeten, misal pada ustaz atau psikolog, semua dalam  rangka mencari satu hal yakni solusi, sekali lagi solusi.
Jika kita telah bertobat, maka simpanlah kisah kelammu baik-baik,  jika engkau ingin berbagi cerita bahwa engkau pernah salah dan agar  orang lain mengambil ibroh (hikmah)  dari ceritamu, maka ceritakan  secara umum atau garis besarnya saja tanpa harus deti.
Misalnya, ”Saya juga pernah tergelincir, tapi Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan saya”, that’s all.  Jika ada teman yang iseng bertanya tentang masa lalumu seperti kalimat  ini “Idih, gimana ceritamu sama si A mantanmu dulu, masih ingat nda?”,  tak  usahlah diperpanjang, cukup katakan “Itu masa lalu kawan, aku telah  bertobat dan telah membuka lembaran baru”.
Cukuplah hadis  dari Abu Hurairoh  bahwa Rasululloh bersabda:
“Semua ummatku dimaafkan (kesalahannya) kecuali Mujahirin (orang  yang memberitahukan kemaksiatannya pada orang lain). Dan sesungguhnya  termasuk Al-majanah bila orang itu pada malam hari berbuat kejahatan,  kemudian pada waktu paginya dia berkata, 'Wahai fulan, tadi malam aku  berbuat demikian dan demikian' padahal malam harinya Robb-nya telah  menutupi (aibnya tersebut), namun pagi hari dia sendiri yang membuka apa  yang telah ditutup oleh Alloh," (HR.Bukhori 5/3254).
Bila Allah telah menutupi aib kita, maka tak perlu kita  memberitahukan pada orang-orang. Bukankah malu adalah sebagian dari  tanda orang beriman? So the points are; bertobatlah dahulu saat  kita tahu bahwa kita berdosa, ceritakan saja kesalahan kita pada orang  yang mumpuni agar kita mendapat bimbingan untuk menapaki jalan hidup  yang lebih baik dan jika kita “sekedar” cerita pada orang lain tentang  aib kita dan tidak akan ada manfaat bagi yang mendengarnya, tampaknya  kita lebih baik diam.
Berkatalah yang baik atau diam. Jangan sampai ada yang mencontoh dosa  kita hanya karena kita telah bercerita pada orang yang salah dan dengan  cara yang salah pula.
Bermaksiat di masa lalu? Usai sudah, jangan berbangga atas  kemaksiatan kita, apalagi jika kita telah bertaubat dan  Allah telah  menutupi aib kita dari orang-orang sedunia.
Ditulis oleh : Dian di Ambon
Sumber : http://www.eramuslim.com
 
